
Menurut penganut agama hindu Bali, kematian dianggap sebagai perpindahan roh dari tubuh fisik ke alam roh. Oleh karena itu, perlu dilakukan upacara ngaben untuk menyucikan dan memisahkan roh dari badan kasarnya, yang memungkinkannya untuk berpindah ke alam roh dengan damai guna menunggu reinkarnasi.

Di balik perbukitan hijau dan hamparan kebun karet yang luas, Desa Kerta Buwana, Kecamatan Sungai Loban, menyembunyikan sebuah kekayaan budaya yang terjaga dengan baik. Terletak di tengah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, desa ini dikenal sebagai pemukiman mayoritas suku Bali. Arsitektur rumah-rumah mereka yang khas, membanggakan di pinggir jalan desa, menjadi bukti nyata warisan budaya yang lestari.

Pada suatu hari yang hening dan sakral, tepatnya Jumat, 28 Juni 2024, langit Desa Kerta Buwana dihiasi oleh upacara Ngaben. Ni Made Wiji, seorang wanita berumur 64 tahun dari Dusun Pulosari RT 03, telah berpulang karena sakit. Prosesi pemakamannya baru dilaksanakan hari ini, menandai sebuah penundaan yang tidak lazim menurut tradisi mereka.

Kepala Desa, I Wayan Katon, dengan penuh penghormatan menjelaskan kepada seluruh pelayat, “Kami menunda prosesi ini karena kegiatan adat lain yang tidak bisa kami abaikan.” Penundaan ini bukan semata tentang waktu, tetapi juga sebuah cerminan dari harmoni dan keseimbangan yang dijaga erat oleh masyarakat Desa Kerta Buwana.

Persiapan untuk upacara Ngaben dimulai sejak jenazah Ni Made Wiji dibawa ke rumah duka di Dusun Pulosari pada Jumat, 21 Juni 2024. Selama tujuh hari, keluarga dan tetangga terlibat dalam persiapan yang khusyuk, menyiapkan sesaji dan mempersiapkan segala yang diperlukan untuk memuliakan almarhum.

Hari Kamis, 27 Juni 2024, menjadi momen paling suci ketika jenazah dimandikan dalam ritual yang khusyuk, sebagai persiapan terakhir sebelum prosesi utama pada hari Jumat. Ritual ini bukan sekadar ritual fisik, tetapi juga simbol penyucian roh untuk perjalanan spiritual selanjutnya.

Pukul 08.00 WITA, jenazah dipindahkan dari rumah duka menuju lokasi kremasi Ngaben di RT 03 Desa Kerta Buwana. Ritual dimulai pukul 09.00 WITA dengan kehadiran tokoh-tokoh agama yang terhormat seperti Begawan Yoga Nanda, Begawan Siwa Nanda, Mangku I Ketut Suminda dari Pura Marajapati, dan Mangku Wayan Taun dari Pura Ulun Danu.

Suara gamelan Bali yang merdu mengisi udara, menyambut langkah-langkah mereka menuju bade, menara kremasi yang megah dan dihiasi dengan detail ukiran yang memesona. Atmosfer sakral terasa semakin dalam ketika suara-suara gemuruh dari gamelan yang sebelumnya mengalun lembut, kini terasa melambung tinggi di udara yang sunyi.

Mata semua orang tertuju pada wanita berbaju putih, wajahnya pucat dan terpaku dalam keheningan yang mendalam. Teriakan isak tangisnya membelah ketenangan, menyampaikan duka yang tak terucapkan dalam kata-kata. Seketika, atmosfer sakral upacara Ngaben terguncang oleh kehadiran pingsan yang tak terduga itu, memaksa para pelayat untuk sejenak menggugat rasa hening yang tadinya begitu kuat mengelilingi mereka.

Ide Pedande memimpin upacara dengan doa-doa yang mengalun lembut, mengantarkan jiwa almarhum ke jalan spiritualnya. Doa-doa tersebut bukan hanya rangkaian kata, tetapi juga doa yang menghubungkan alam fisik dengan alam roh, membawa kedamaian bagi jiwa yang berpulang.

Api yang mulai menyala di bade menjadi lambang transisi, dari kehidupan ini ke kehidupan yang lebih abadi. Asap dupa naik ke langit, membawa harapan dan doa kepada para dewa, sementara keluarga dan saudara-saudara meratap dengan haru yang mendalam. Mereka tidak hanya mengucapkan selamat tinggal, tetapi juga mengantar roh dengan penuh penghormatan.

Suasana hening dan khidmat terus menggelayuti upacara, mencapai puncaknya saat api memuncak dan mengakhiri perjalanan fisik almarhum. Suara gamelan kembali mengalun lembut, menandakan kedamaian yang ditemukan di dalam perpisahan ini. Setiap nada gamelan adalah doa, setiap alunan adalah harapan.

Setelah prosesi selesai pada pukul 11.30 WITA, abu Ni Made Wiji diarak ke laut untuk dihanyutkan, menjadi satu dengan alam semesta yang luas. Laut adalah simbol keabadian, tempat di mana abu menyatu dengan air, membawa roh kembali ke siklus alam.

Menurut pemantauan Sertu Sunarto, Babinsa Desa Kerta Buwana yang selalu hadir di setiap acara di desa, jumlah kehadiran mencapai 900 orang pelayat. Kehadiran tersebut tidak hanya menunjukkan dukungan moral, tetapi juga mencerminkan kekayaan budaya dan kehangatan masyarakat Desa Kerta Buwana.
Ritual Ngaben, salah satu tradisi sakral dari Bali, memiliki potensi besar sebagai atraksi wisata budaya di Desa Kerta Buwana. Prosesi ini tidak hanya memukau secara visual dengan berbagai rangkaian ritual yang indah, tetapi juga menawarkan pengalaman mendalam dalam memahami spiritualitas, keterikatan manusia dengan alam, serta tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Desa Kerta Buwana, yang dikelilingi oleh perbukitan hijau dan pemandangan alam yang mempesona, menjadi lokasi yang ideal untuk merasakan kekayaan budaya ini. Pengunjung yang datang dapat menyaksikan dan merasakan secara langsung hubungan harmonis antara manusia, alam, dan warisan leluhur mereka.

Harapan masyarakat Bali di Kabupaten Tanah Bumbu, yang merupakan suku minoritas transmigrasi dari Bali sejak tahun 1981, adalah agar adat, budaya, dan tradisi mereka yang berasal dari Pulau Bali tetap bisa dilestarikan di tempat tinggal mereka saat ini. Mereka berharap agar Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Bumbu memberikan ruang dan dukungan anggaran dari APBD setiap tahunnya untuk melaksanakan festival seni dan budaya yang dapat memperkuat jati diri mereka.

Sebagai penduduk Tanah Bumbu yang berasal dari komunitas transmigrasi, mereka memiliki tekad kuat untuk mempertahankan identitas budaya mereka. Festival seni dan budaya tahunan tidak hanya akan memperkenalkan kekayaan budaya Bali kepada masyarakat luas tetapi juga memperkuat identitas budaya mereka di tanah perantauan.

Dengan dukungan pemerintah daerah, festival seni dan budaya yang diadakan setiap tahun dapat menjadi sarana efektif untuk memperkenalkan kekayaan budaya Bali kepada masyarakat luas sekaligus memperkuat identitas budaya mereka. Hal ini juga dapat menjadi daya tarik wisata yang memperkaya destinasi wisata budaya di Kabupaten Tanah Bumbu.

Pernyataan Gede Natih, Sekdes Kerta Buwana, mencerminkan keinginan kuat masyarakat Bali di Tanah Bumbu untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya mereka di tanah perantauan. Mereka tidak hanya ingin melestarikan budaya, tetapi juga menjadikannya sebagai jembatan untuk memahami hubungan antara manusia, alam, dan spiritualitas.

Upacara Ngaben di Desa Kerta Buwana adalah cerminan dari filosofi hidup dan mati yang mendalam. Setiap prosesi, dari penyucian hingga kremasi, mengajarkan tentang siklus kehidupan, kematian, dan reinkarnasi. Ini adalah sebuah perjalanan spiritual yang menghubungkan alam fisik dengan alam roh.

Desa Kerta Buwana, dengan segala keindahan alam dan kekayaan budayanya, adalah tempat di mana tradisi dan spiritualitas bersatu dalam harmoni. Melalui upacara Ngaben, masyarakat Bali di desa ini menunjukkan bagaimana kematian bukanlah akhir, tetapi awal dari sebuah perjalanan baru menuju keabadian.

Baca juga : Perjuangan Sigit Dwi Atmaja, Tenaga Non ASN Penyandang Disabilitas Tanah Bumbu

Kalimantan Smart Info – Jendela Informasi Nusantara (Om Anwar)