
Makassar baru-baru ini dikejutkan oleh kemunculan sebuah spanduk provokatif bertuliskan “Makassar Tidak Tunduk Pada Raja Jawa” yang terpampang di Fly Over Jalan AP Pettarani. Meskipun spanduk tersebut kini telah diturunkan, kehadirannya sempat menimbulkan berbagai spekulasi dan reaksi di tengah masyarakat. Fenomena ini bukan hanya mencerminkan kegelisahan lokal, tetapi juga memperlihatkan bagaimana sentimen regional bisa digunakan dalam konteks politik nasional yang lebih luas.
Spanduk kontroversial ini dipasang di salah satu titik strategis di Kota Makassar, yakni di Fly Over Jalan AP Pettarani, yang merupakan jalur utama menuju jalan tol. Dengan ukurannya yang cukup besar, sekitar 1×3 meter, spanduk ini jelas bertujuan menarik perhatian publik. Menurut kesaksian seorang penjual tisu di sekitar lokasi, spanduk tersebut sudah terpasang sejak Kamis, 22 Agustus 2024, bersamaan dengan aksi demonstrasi yang digelar oleh mahasiswa yang menentang revisi Undang-Undang Pilkada yang disahkan DPR RI dengan cepat.
Meskipun Satpol PP Makassar telah mengonfirmasi bahwa spanduk ini sudah diturunkan, ada hal menarik dari penurunan ini. Rasudin, Danru BKO Kecamatan Panakkukang Satpol PP Makassar, menyebutkan bahwa pihaknya tidak terlibat langsung dalam penurunan spanduk tersebut. Siapa yang menurunkan spanduk itu tetap menjadi misteri, menambah lapisan ketidakpastian dan spekulasi seputar pesan di balik spanduk tersebut.
Baca artikel detikjogja, “3 Fakta Spanduk ‘Makassar Tidak Tunduk Pada Raja Jawa'” selengkapnya di sini.
Pernyataan “Raja Jawa” oleh Bahlil Lahadalia
Polemik tentang “Raja Jawa” tidak berhenti di situ. Istilah tersebut sebenarnya merujuk pada pernyataan Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia. Dalam sebuah pidato perdananya setelah terpilih sebagai Ketum Golkar yang baru, Bahlil bercanda dengan memperingatkan kader Golkar untuk tidak bermain-main dengan “Raja Jawa” jika tak ingin celaka. Meskipun Bahlil menyebut ucapannya hanya bercanda, istilah ini langsung menjadi viral dan memicu berbagai spekulasi mengenai siapa yang sebenarnya dimaksud sebagai “Raja Jawa”.
Bahlil kemudian menjelaskan bahwa pernyataannya tersebut hanyalah candaan politik dan tidak bermaksud merujuk pada seseorang atau entitas tertentu. Bahlil menegaskan bahwa “Raja Jawa” adalah bagian dari candaan politiknya, bukan sebuah pernyataan serius atau politis.
Untuk membaca lebih lanjut mengenai pernyataan Bahlil, Anda bisa mengakses artikel lengkapnya di Kompas.com.
Artikel ini ditulis oleh Om Anwar dan dipublikasikan melalui kalimantansmart.info.