Next Post

Kisah Mistis Batu Badinding di Pulau Sawangi

KalimantanSmart.INFO, Minggu (09/02/2025)

Ekspedisi Menghidupkan Kembali Narasi yang Terlupakan

Langit kelabu menggantung rendah saat kami bersiap menaiki speedboat di dermaga kayu yang renta. Papan-papan tua berderit di bawah pijakan, menyimpan jejak para pelaut yang telah bertahun-tahun mengarungi jalur ini. Di hadapan kami, sebuah perahu bermesin ganda bergoyang ringan di atas air, siap menembus gelombang menuju Pulau Sawangi.

Speedboat dikemudikan oleh seorang pria berperawakan kurus, anak buah Abdul Rahim, yang diberi amanah untuk mengantar kami ke pulau. Abdul Rahim, anggota DPRD Tanah Bumbu sekaligus putra asli Pulau Sawangi, tak dapat turut serta dalam perjalanan ini karena tengah berada di luar kota. Meski begitu, ia telah memfasilitasi ekspedisi kami, memastikan segalanya berjalan sebagaimana mestinya.

Kami, awak media dan para pegiat Komunitas Kopi Ambar, datang dengan tujuan yang lebih dari sekadar perjalanan biasa. Kami ingin menggali kembali legenda yang hampir terkubur waktu, merangkai kisah-kisah yang bertebaran di pulau ini, lalu menuangkannya dalam aksara agar tetap hidup dalam ingatan generasi mendatang. Pulau Sawangi bukan hanya daratan di tengah lautan, melainkan lembaran sejarah yang menunggu untuk dibuka kembali.

Fotografer mengabadikan momen dari atas speed boat sepulang dari Pulau Suwangi, Minggu, 09 Februari 2025. KalimantanSmart.INFO

Di kejauhan, perkampungan nelayan terapung tampak seperti mozaik kehidupan yang menyatu dengan lautan. Rumah-rumah kayu berdiri anggun di atas tiang panggung, mengapung tenang seperti perahu yang enggan berlayar. Angin laut membawa aroma garam yang meresap dalam udara, menghembuskan perasaan bahwa petualangan sejati baru saja dimulai.

Saat mesin speedboat meraung, permukaan laut beriak, meninggalkan jejak-jejak putih berbusa di belakang. Hutan bakau di tepian berdiri kokoh, seolah menjadi benteng terakhir yang menjaga pulau dari gelombang waktu. Burung-burung laut melintas di atas kami, suaranya berpadu dengan desir ombak, menciptakan simfoni alam yang mengiringi perjalanan ini.

Di cakrawala yang masih berselimut kabut, Pulau Sawangi mulai menampakkan wujudnya. Rumah-rumah panggung berjajar rapat di tepi pantai, bangunan beratap khas berdiri di antaranya, menjadi pusat denyut kehidupan masyarakat setempat. Langit perlahan cerah, seakan membuka tirai untuk menyambut kami dengan kehangatan yang tersembunyi di balik sunyinya pulau.

KalimantanSmart.INFO

Pulau Sawangi yang Berubah Status

Di sebuah rumah kayu tua yang masih kokoh berdiri sejak tahun 1983, kami disambut oleh Sarwani, ketua RT 9 Pulau Suwangi. Pria berusia paruh baya itu tampak tenang, meski matanya menyiratkan banyak kisah yang ingin ia bagikan.

Di dinding, tergantung potret Presiden RI, Soekarno yang telah menguning oleh waktu. Sorot matanya tetap tajam, seakan mengawasi jalannya sejarah yang terus berputar. Di sudut ruangan, para anggota Komunitas Kopi Ambar mulai mencatat, mengumpulkan kepingan kisah yang tercecer di antara papan-papan lantai yang mulai berderit.

Sarwani menghela napas sebelum menjelaskan, “Pulau Sawangi ini sekarang bukan lagi sebuah desa. Sudah lama statusnya berubah menjadi bagian dari Kelurahan Batulicin. Padahal, secara geografis, pulau ini terpisah dari daratan utama Batulicin, harus menyeberangi lautan untuk mencapainya.”

Perubahan status ini membawa dampak yang tidak kecil bagi masyarakat setempat. Dahulu, Pulau Sawangi memiliki kepala desa sendiri, mengatur kebutuhan warganya secara mandiri. Namun kini, segala urusan administratif bergantung pada Kelurahan Batulicin yang berada di seberang laut.

“Sejak perubahan itu, banyak yang pindah ke Batulicin,” lanjut Sarwani. “Terutama karena akses pendidikan dan tempat ibadah di sini sangat terbatas. Anak-anak kami harus bersekolah ke Batulicin, dan itu tidak mudah.”

Meski demikian, sebagian warga tetap bertahan, menjaga rumah-rumah kayu mereka di tepi laut, hidup dari hasil laut dan perkebunan kecil. Mereka adalah generasi yang masih setia merawat warisan leluhur di pulau ini.

KalimantanSmart.INFO

Perjalanan Menuju Batu Badinding

Kami kemudian diajak menjelajahi salah satu tempat yang sarat legenda di Pulau Sawangi: Batu Badinding.

“Medannya cukup terjal ya, Pak?” tanya salah satu dari kami saat melangkah melewati jalan setapak yang sempit.

Sarwani tersenyum. “Iya, kita mantapkan terus ini. Yang kita tuju ini namanya Batu Badinding.”

Kami melangkah hati-hati melewati akar pohon yang mencuat dari tanah, sesekali merunduk menghindari ranting yang menjuntai rendah.

“Menurut cerita turun-temurun, Batu Badinding ini tempat istimewa,” lanjut Sarwani. “Orang-orang tua dulu percaya bahwa di atas sana adalah pusat pemerintahan dunia gaib, seperti ibu kota bagi mereka yang tak kasat mata.”

Kami kembali menapaki jalur sempit, menuju sebuah tebing batu yang menyimpan legenda. 

Angin membawa aroma tanah basah, sementara dahan-dahan tua menggeliat seperti tangan-tangan yang hendak meraih langit. Kami terus berjalan, mendaki jalur terjal dengan pijakan hati-hati.

Konon, jika seseorang datang ke Pulau Sawangi tanpa mengunjungi Batu Badinding, maka ia belum benar-benar mengenal pulau ini. Beberapa penduduk percaya, tempat ini menyimpan energi yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata—sebuah persimpangan antara dunia nyata dan yang gaib.

KalimantanSmart.INFO

Jejak Para Leluhur dan Ritual Mistis Batu Badinding

Tiba di kaki tebing, kami menatap ke atas. Batu-batu besar tersusun rapat seperti benteng alam yang tak tergoyahkan. Permukaannya kasar, tertutup lumut dan tanaman liar yang menjalar di sela-sela celahnya.

“Batu ini bukan sekadar tebing,” kata Sarwani, suaranya lebih lirih. “Bagi yang percaya, tempat ini adalah pusat pemerintahan makhluk halus. Ada yang datang ke sini mencari petunjuk, meminta perlindungan, atau sekadar ingin merasakan energi yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.”

Kami berdiam sejenak. Hanya suara angin yang berbisik di antara dedaunan, seolah turut menyampaikan cerita dari masa lalu.

“Dulu, setiap bulan Muharram, diadakan pesta adat Massorong,” lanjut Sarwani. “Orang-orang dari berbagai tempat, dari Pagatan, Kotabaru, hingga Batulicin, datang ke sini. Ada sesajian yang dilarungkan ke laut, sebuah perahu kecil yang membawa ketan tujuh rupa, beras, uang, dan berbagai perlengkapan. Itu sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.”

Ia menatap ke kejauhan, matanya seperti melihat kembali ke masa lalu.

“Tapi seiring waktu, banyak yang pergi. Anak-anak muda meninggalkan pulau ini untuk mencari pendidikan dan kehidupan yang lebih baik. Kini, hanya segelintir yang bertahan.”

KalimantanSmart.INFO

Kami akhirnya tiba di puncak Batu Badinding. Tebing batu menjulang kokoh, permukaannya kasar dan penuh lumut. Dari puncaknya, laut terlihat luas tak berujung. Angin bertiup lebih kencang di sini, seakan membawa bisikan-bisikan dari masa lalu.

Sepintas, Batu Badinding tidak terlihat jelas, tertutupi oleh pepohonan raksasa yang menjulang tinggi. Kanopi lebat dari dahan dan daun-daun yang rindang menyamarkan keberadaannya, membuat siapapun kesulitan mengukur ketinggian batu tersebut. Dari sudut tertentu, batu itu tampak menyatu dengan hutan, seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari alam.

Seorang anggota Komunitas Kopi Ambar bertanya, “Jadi, kalau orang datang ke Pulau Sawangi tapi tidak sampai ke Batu Badinding ini, berarti belum benar-benar mengenal pulau ini?”

Sarwani mengangguk. “Betul. Bagi orang-orang tua, kalau ke Pulau Sawangi tapi tidak ke Batu Badinding, artinya belum menuntaskan perjalanan.”

 
KalimantanSmart.INFO

Makna Kain Kuning dalam Tradisi Mistis

Saat kami menapaki jalan setapak menuju puncak tebing, langkah terhenti oleh sesuatu yang mencolok di kejauhan. Di antara rimbunnya pepohonan dan bebatuan curam, terlihat kain kuning menyerupai kelambu yang tergantung di puncak tebing.

Sarwani, yang menemani perjalanan, segera menjelaskan bahwa kain kuning tersebut merupakan tempat persembahan atau tempat yang dikeramatkan. “Biasanya, kalau ada orang yang punya hajat atau ingin memohon sesuatu, mereka datang ke sini. Bisa untuk keselamatan, kesuksesan, atau bahkan menyampaikan rasa syukur,” ujar Sarwani.

Kain kuning sering dikaitkan dengan dunia spiritual dan mistis di berbagai budaya, khususnya di Indonesia dan Asia Tenggara. Warna kuning sendiri memiliki makna kesakralan, perlindungan, dan kekuatan gaib. Dalam beberapa kepercayaan, kain kuning dipercaya sebagai penanda area yang dianggap suci atau tempat bersemayamnya roh leluhur dan penjaga alam.

Di tempat-tempat keramat seperti puncak tebing Pulau Sawangi, keberadaan kain kuning menjadi penghubung antara dunia nyata dan alam gaib. Warga yang datang untuk berdoa atau melakukan ritual tertentu biasanya membawa sesajen berupa bunga, dupa, atau makanan sebagai bentuk penghormatan. Tak jarang juga mereka menggantungkan harapan dalam doa, memohon perlindungan dari marabahaya, atau meminta petunjuk dalam kehidupan.

KalimantanSmart.INFO

Legenda Ular Sawah dan Asal-usul Nama Pulau

Di tengah perjalanan, Sarwani kembali membuka cerita.

“Pulau ini dulu namanya Pulau Selangi,” katanya, “Tapi ada dongeng yang diceritakan turun-temurun.”

Ia berhenti sejenak, menghela napas, lalu melanjutkan, “Konon, dahulu ada seekor ular sawah raksasa yang terdampar dari batu licin, terbawa arus hingga sampai di pulau ini. Keharumannya menyebar, menciptakan aura mistis yang melekat pada tanah dan air di sekitarnya. Dari situlah nama Sawangi berasal—dari kata ‘sawah’ yang harum, yang oleh para leluhur disebut ‘sawangi’.”

Langkah kami terus mendaki, dan kini jalur semakin terjal. Sesekali kami harus berpegangan pada akar pohon atau batu-batu yang menonjol untuk menjaga keseimbangan.

“Tak semua orang berani ke sini,” lanjut H. Sarwani, “Sebab ada yang percaya bahwa jika kau ke Pulau Suwangi tanpa mendaki hingga ke Batu Bedinding, kau belum benar-benar mengunjungi pulau ini.”

Di kejauhan, di balik dahan-dahan rimbun, kami mulai melihat siluet batu raksasa yang menjulang. Seperti dinding kokoh yang menjaga rahasia pulau ini sejak berabad-abad silam.

KalimantanSmart.INFO

Satwa Liar dan Sisa-sisa Kehidupan di Pulau Sawangi

Kami kembali menapaki jalur, menyusuri rimba yang menyimpan kehidupan liar. “Masih ada babi hutan di sini,” kata Sarwani, “Kadang-kadang kancil juga terlihat, bekantan dan juga monyet yang hitam-hitam itu masih sering muncul di sekitar sini.”

Ia tersenyum kecil. “Tapi ular tetap yang paling sering kami jumpai, apalagi kalau ada ayam yang baru menetas. Mereka datang mencari mangsa.”

Perjalanan ini adalah perjalanan menembus waktu, menghidupkan kembali kisah-kisah yang nyaris tenggelam dalam ingatan.

Kami melangkah turun, meninggalkan Batu Bedinding dengan kisah yang masih bergaung di kepala. Pulau Sawangi bukan hanya daratan yang terlupakan—ia adalah potongan sejarah, legenda yang masih berdenyut di antara akar-akar tua, dan rumah bagi mereka yang setia menjaga warisan leluhur.

Fotografer

Menjaga Warisan di Tengah Perubahan

Kami bertanya pada Sarwani, apakah pulau ini terbuka untuk umum?

“Ya, tentu,” jawabnya. “Harapan kami, Pulau Sawangi bisa mendapat perhatian dari pemerintah. Mungkin ada pembangunan yang lebih baik untuk pariwisata, atau bantuan untuk menjaga tradisi yang ada.”

Medan yang kami lalui cukup menantang. Jalan setapak sempit yang licin membuat langkah harus selalu waspada. Beberapa kali kami harus berpegangan pada akar pohon yang mencuat dari tanah, sementara dedaunan basah menutupi jalur, menyembunyikan tanah yang tak selalu rata.

KalimantanSmart.INFO

Insiden Saat Menuruni Tebing

Langkah kami perlahan menuruni tebing berbatu di Pulau Sawangi. Setelah hujan pagi tadi, tanah menjadi licin, tertutup lapisan dedaunan basah yang menutupi pijakan. Tak ada yang berbicara, semua fokus mencari jalan aman agar tidak tergelincir.

Namun, tiba-tiba terdengar teriakan tertahan dari belakang. Kami menoleh serempak—salah satu kru media terpeleset. Tubuhnya meluncur beberapa meter ke bawah sebelum akhirnya tersangkut di antara akar pohon besar. Jantung kami berdegup kencang, sementara ia terduduk dengan wajah pucat. Beruntung, tidak ada luka serius, hanya keterkejutan yang masih tersisa di matanya. 

Sarwani segera menghampiri kami dan berkata dengan nada serius, “Di tempat seperti ini, lebih baik kita baca doa. Ini tempat angker, bukan sembarang orang bisa ke sini tanpa izin.”

Suasana seketika berubah. Hutan yang semula hanya terdengar gemerisik daun kini terasa lebih sunyi dari biasanya. Kami saling bertukar pandang, lalu dengan hikmat masing-masing mulai membaca doa dalam hati.

Saat hari mulai beranjak senja, kami kembali ke dermaga dengan kepala penuh cerita. Pulau Sawangi, meski tak lagi berstatus sebagai desa, tetap menyimpan kekayaan budaya dan sejarah yang tak boleh hilang.

KalimantanSmart.INFO

Seiring speedboat meninggalkan pulau, kami menatap kembali daratan kecil yang kini semakin jauh di belakang. Pulau Sawangi adalah gugusan kisah yang masih bernapas, legenda yang hidup di antara desiran angin, dan rumah bagi mereka yang setia menjaga warisan leluhur.

Dan di setiap desiran ombak yang mengantarkan kami kembali ke Batulicin, cerita Pulau Sawangi tetap berbisik, menanti untuk terus diceritakan.

KalimantanSmart.INFO

Cerita ini ditulis oleh Om Anwar Alakadarnya dan dipublikasikan melalui KalimantanSmart.INFO

(Jika ada ketidaksesuaian nama, tempat, atau cerita, ini hanyalah tulisan yang dibuat untuk memperkaya kisah yang akan dituangkan dalam legenda.)

Avatar photo

Redaksi

Related posts

Newsletter

Subscribe untuk mendapatkan pemberitahuan informasi berita terbaru kami.

Loading

banner kalimantansmartinfo
Iklan Berita (1)
banner kalimantansmart

Recent News