
Dalam dunia bisnis, ada adagium klasik yang berbunyi, “Jika ingin sukses besar, jangan hanya menjadi pemain, tetapi kuasai aturan mainnya.” Bagi sebagian elite, menguasai pemerintahan atau bersekongkol dengan penguasa bukan sekadar strategi, melainkan keharusan dalam mempertahankan dominasi ekonomi. Dalam literatur ekonomi politik, fenomena ini dikenal dengan istilah crony capitalism atau kapitalisme kroni, di mana keberhasilan bisnis lebih ditentukan oleh kedekatan dengan pemerintah ketimbang daya saing pasar.
Bisnis dan Kekuasaan: Duet yang Selalu Berulang dalam Sejarah
Hubungan erat antara bisnis dan politik bukanlah fenomena baru. Sejak era kolonial, para pemilik modal telah berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah demi keuntungan pribadi. Sejarawan ekonomi Karl Polanyi dalam bukunya The Great Transformation (1944) menjelaskan bagaimana ekonomi pasar modern lahir dari intervensi negara, bukan sekadar dari mekanisme pasar bebas. Hal ini menunjukkan bahwa peran pemerintah dalam mengatur dan memfasilitasi bisnis sudah ada sejak lama.
Di Indonesia, model crony capitalism semakin menguat pada era Orde Baru, di mana pengusaha-pengusaha tertentu mendapatkan hak istimewa dalam proyek nasional. Buku Indonesia, 1966-1982: The Rise of Capital karya Richard Robison mengulas bagaimana segelintir konglomerat tumbuh pesat berkat proteksi dari pemerintah. Hingga saat ini, pola yang serupa masih terjadi dengan berbagai skema, mulai dari konsesi sumber daya alam hingga proyek infrastruktur strategis.
Manfaat dan Risiko Bersekongkol dengan Penguasa
Dalam perspektif ekonomi politik, ada beberapa keuntungan yang didapat pengusaha yang dekat dengan kekuasaan:
- Regulasi yang Menguntungkan – Kebijakan bisa dibuat untuk mengeliminasi pesaing dan memperkuat monopoli.
- Akses Prioritas ke Proyek Pemerintah – Kontrak besar sering kali diberikan kepada perusahaan dengan hubungan politik yang kuat.
- Perlindungan dari Hukum – Penegakan hukum bisa dipengaruhi demi kepentingan bisnis tertentu.
- Dominasi Pasar – Bisnis yang didukung pemerintah cenderung lebih mudah menguasai sektor strategis.
Namun, seperti yang dijelaskan oleh Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam buku Why Nations Fail (2012), praktik bisnis yang bertumpu pada kedekatan politik bisa menjadi pedang bermata dua. Ketika kekuasaan berganti, perusahaan yang bergantung pada rezim tertentu sering kali kehilangan perlindungan dan jatuh dalam kehancuran.
Dampak terhadap Ekonomi dan Masyarakat
Dalam perspektif literasi ekonomi, model bisnis yang mengandalkan hubungan politik dapat menciptakan fenomena rent-seeking, yaitu ketika sumber daya ekonomi dialokasikan bukan berdasarkan efisiensi atau inovasi, melainkan melalui kedekatan dengan penguasa. Hal ini berpotensi merusak kompetisi pasar, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan memperbesar ketimpangan sosial.
Joseph Stiglitz, dalam bukunya The Price of Inequality (2012), menyoroti bagaimana sistem ekonomi yang dikendalikan oleh elite politik dapat menyebabkan stagnasi inovasi dan memperburuk kesenjangan sosial. Ketika kebijakan ekonomi lebih menguntungkan segelintir orang, maka kelas menengah dan usaha kecil-menengah (UKM) akan kesulitan berkembang.
Menguasai pemerintahan atau bersekongkol dengan penguasa memang bisa menjadi strategi bisnis yang menguntungkan dalam jangka pendek, tetapi memiliki risiko tinggi dalam jangka panjang. Sejarah menunjukkan bahwa kerajaan bisnis yang terlalu bergantung pada politik cenderung rapuh dan rentan runtuh saat kekuasaan bergeser.
Dalam perspektif literasi ekonomi, pertumbuhan bisnis yang sehat seharusnya didasarkan pada inovasi, efisiensi, dan daya saing, bukan sekadar kedekatan dengan lingkaran kekuasaan. Oleh karena itu, membangun sistem ekonomi yang transparan dan berkeadilan menjadi tantangan besar bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Om Anwar – KalimantanSmart.Info