Hujan turun perlahan di atas atap penjara Cold Mountain. Di dalamnya, Paul Edgecomb, kepala sipir blok eksekusi, melangkah menyusuri koridor berwarna hijau pucat yang disebut The Green Mile. Lorong itu adalah jalan terakhir bagi para terpidana mati sebelum mereka menemui ajal di kursi listrik. Paul sudah terbiasa dengan pemandangan itu—semua berjalan sesuai prosedur.
Namun, suatu hari, keadaan berubah. Seorang pria berkulit hitam, bertubuh besar, dibawa masuk. Namanya John Coffey, terpidana yang dijatuhi hukuman mati atas tuduhan membunuh dua gadis kecil. Paul memperhatikannya dari balik jeruji besi. Meski tubuhnya raksasa, sorot mata Coffey sangat lembut. Ada sesuatu yang tak biasa dalam dirinya.
Paul menghampiri Coffey dan berkata, “Apa yang terjadi padamu, John? Kenapa kamu tampak begitu takut?” Coffey, dengan suara gemetar, menjawab, “Saya… saya takut, Boss. Takut akan gelap.” Paul menatap pria besar itu, merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Kau takut pada gelap? Tapi, kau besar… Kau terlihat kuat.” John Coffey menggelengkan kepala. “Terkadang, yang besar itu justru yang paling rapuh.”
Hari-hari berlalu, dan Paul mulai merasakan keanehan. Coffey bukanlah narapidana biasa. Suatu malam, ketika Paul menderita infeksi kandung kemih yang parah, Coffey meminta untuk mendekat. Dengan dua tangan besarnya, ia menyentuh perut Paul. “Rasa sakitmu akan hilang,” ujar Coffey. Ajaib. Dalam hitungan detik, rasa sakit yang selama ini mengganggu Paul lenyap begitu saja. “Bagaimana kau lakukan itu?” tanya Paul, masih terheran. Coffey hanya tersenyum, menatapnya dengan mata yang penuh kesedihan. “Saya hanya ingin membantu.”
Keajaiban terus berlanjut. Coffey menghidupkan kembali seekor tikus kecil bernama Mr. Jingles, yang sebelumnya mati diinjak oleh Percy Wetmore, sipir muda yang suka menyiksa narapidana. Bahkan, Coffey menyembuhkan Melinda Moores, istri kepala penjara, dari tumor otak yang menggerogoti hidupnya. Paul mulai curiga: siapa sebenarnya John Coffey?
Paul menyelidiki lebih jauh, dan ia menemukan kenyataan yang menggetarkan. Pembunuh asli dari gadis-gadis kecil itu bukanlah Coffey, melainkan William “Wild Bill” Wharton, seorang narapidana berandalan yang tidak terkendali. Satu-satunya masalah: sistem hukum tidak memberi kesempatan pada kebenaran untuk terungkap. Coffey sudah dijatuhi hukuman mati, dan tidak ada yang bisa mengubahnya.
“Paul, saya lelah,” ujar Coffey dengan suara serak, suatu malam. “Lelah dengan dunia ini… saya hanya ingin pergi.”
Paul merasakan kebingungannya semakin dalam. Meskipun ia ingin menyelamatkan Coffey, pria besar itu sudah memilih untuk menerima nasibnya.
Hari yang ditunggu-tunggu tiba—eksekusi Coffey. Paul memimpin jalannya prosesi, dan dengan hati berat ia memberi perintah agar Coffey dieksekusi tanpa penutup mata. “Saya takut pada gelap, Boss,” kata Coffey, dengan suara yang penuh ketakutan. Paul menatapnya sekali lagi, lalu mengangguk pelan. Coffey duduk di kursi listrik, dan detik berikutnya, arus listrik menyambar tubuhnya. Semua yang hadir dalam ruangan itu merasa sepi, seolah waktu berhenti sejenak.
Bertahun-tahun setelah eksekusi, Paul, yang kini sudah menua, masih dihantui oleh ingatan akan keputusan yang harus ia ambil malam itu. Di hadapan sahabatnya, ia berkata, “Saya masih hidup, jauh lebih lama dari yang seharusnya. Dan saya tak bisa lepas dari beban itu. Setiap detik terasa seperti hukuman.” Sahabatnya menatap Paul dengan tatapan prihatin. “Apa yang terjadi, Paul?” “Coffey adalah keajaiban, tapi sistem ini membunuhnya. Dan saya ikut dihukum karena keajaiban yang tidak bisa saya pahami,” jawab Paul dengan suara penuh penyesalan.
Di akhir kisah, Paul berkomentar, “Kadang-kadang, yang benar-benar mati bukanlah tubuh, tetapi hati yang terus hidup dalam penyesalan.” Ia mengungkapkan bahwa dirinya masih bertahan hidup jauh lebih lama dari umur normal manusia, mungkin sebagai bentuk hukuman—atau mungkin sebagai hadiah untuk merenung dan menanggung beban berat dari keputusan yang harus ia buat.
Lalu, Paul menatap jauh ke luar jendela. Seperti Coffey, ia merasa lelah. Tapi ia tahu satu hal: keadilan tak selalu datang dengan cara yang kita harapkan, dan sering kali terlambat untuk dapat memperbaiki kesalahan yang telah terjadi.
“The Green Mile” sebuah film yang menyentuh aspek-aspek yang lebih dalam tentang kemanusiaan, keadilan, dan pengorbanan. Di balik kisah kehidupan di balik jeruji, film ini juga mempertanyakan tentang hakikat keadilan itu sendiri—apakah kita selalu benar dalam menilai seseorang, ataukah kadang kita terjebak dalam prasangka dan sistem yang gagal melihat kebenaran yang sesungguhnya?
Melalui karakter John Coffey, kita dihadapkan pada paradoks besar dalam kehidupan: orang yang paling murni dan penuh kasih, justru dihukum dengan cara yang paling kejam. Film ini juga menunjukkan bahwa kebaikan tidak selalu menang di dunia ini. Namun, kebaikan itu—seperti yang ditunjukkan oleh Coffey—tetap ada dan bisa membawa perubahan meskipun seringkali terlambat. Dan dalam akhirnya, pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa kebenaran dan keadilan bukan hanya soal apa yang tertulis di atas kertas, tetapi juga bagaimana kita memandang dan memperlakukan sesama.
Film The Green Mile disutradarai oleh Frank Darabont, yang terkenal dengan kemampuannya mengadaptasi karya-karya Stephen King ke layar lebar. Film ini dirilis pada tahun 1999 dan berhasil meraih popularitas luas serta penghargaan-penghargaan penting. Dalam film ini, Tom Hanks memerankan tokoh utama, Paul Edgecomb, sedangkan Michael Clarke Duncan memerankan John Coffey, narapidana dengan kemampuan luar biasa. Selain mereka, film ini juga dibintangi oleh David Morse sebagai Brutus “Brutal” Howell, Doug Hutchison sebagai Percy Wetmore, dan Sam Rockwell sebagai William “Wild Bill” Wharton.
The Green Mile mengandung pesan mendalam tentang keadilan, kemanusiaan, dan bagaimana sistem hukum sering kali gagal untuk melihat kebenaran yang lebih besar. Film ini menunjukkan bahwa tidak semua kebenaran dapat dilihat melalui hukum tertulis, dan terkadang kita perlu melihat dengan hati untuk memahami siapa yang benar-benar pantas dihukum.
Ditulis oleh Om Anwar untuk KalimantanSmart.INFO