
Di tengah panasnya matahari pesisir dan semilir angin laut yang membawa aroma asin khas pantai, berdiri sebuah jembatan kayu sederhana di Desa Bunati, Kecamatan Angsana, Kalimantan Selatan. Terbuat dari batang kayu dan papan bekas yang disatukan dengan tali tambang seadanya, jembatan itu menjadi penghubung penting bagi warga nelayan untuk melintasi aliran air kecil menuju ke perahu mereka, atau sekadar menyeberang ke area pemukiman.

Pemandangan berbeda tersaji di tepi pantai Desa Bunati. Deretan rumah panggung beratap daun nipah berdiri kokoh—simbol kesederhanaan sekaligus ketahanan masyarakat pesisir dalam menghadapi kerasnya hidup di tepian laut. Meski jauh dari kemewahan, kehidupan di desa ini dipenuhi oleh semangat kebersamaan dan nilai gotong royong yang masih kental.
Di sepanjang pinggiran sungai, ban-ban bekas tersusun rapi. Bukan sampah tak berguna, namun bagian dari kreativitas lokal: dijadikan pelindung perahu dan tambatan sederhana saat air laut pasang surut silih berganti. Setiap sudut menunjukkan bagaimana warga memanfaatkan apa yang ada di sekitar mereka, menciptakan harmoni antara alam dan kebutuhan hidup.

Desa Bunati di Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, merupakan salah satu desa pesisir yang menyimpan kekayaan alam, budaya, dan potensi ekonomi yang luar biasa. Dengan letak geografis yang berada di ujung muara Sungai Bunati, desa ini memiliki karakteristik unik baik dari sisi sosial maupun lingkungan.
Desa ini terbagi ke dalam empat Rukun Tetangga (RT), yakni RT 1, RT 3, dan RT 4 yang berada di pusat desa, serta RT 2 yang berada di seberang muara sungai. Untuk mencapai RT 2, warga harus menempuh perjalanan menyusuri jalan kecil yang dikelilingi lebatnya hutan mangrove, lalu melintasi jembatan kayu sepanjang lebih dari 100 meter.
“Jembatan ini usianya sudah puluhan tahun, menghubungkan ke RT 02. Setiap hari dilalui anak-anak ke sekolah,” tutur salah seorang warga saat ditemui di lokasi.
Suasana jalan menuju jembatan tampak alami dan teduh, namun tetap menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi anak-anak sekolah dan warga yang melintasi jalur ini dengan sepeda motor. Jembatan ini kini tidak lagi diperbolehkan dilintasi kendaraan roda empat demi alasan keselamatan.

Muara Sungai Bunati juga menjadi daya tarik tersendiri dengan keberadaan hutan mangrove yang masih terpelihara dengan baik. Hutan ini menjadi habitat alami bagi bekantan, primata endemik Kalimantan, yang kerap terlihat melintasi jalanan desa. Harmoni antara manusia dan alam begitu terasa kuat di sini.
Sementara itu, di kawasan pesisir dekat muara, aktivitas nelayan tradisional masih sangat hidup. Kapal-kapal nelayan berderet di sepanjang dermaga sederhana yang dibangun secara swadaya. Tampak perahu-perahu kayu berlabuh, beberapa di antaranya ditambatkan pada tiang bambu dan kayu seadanya. Meskipun fasilitasnya terbatas, dermaga ini menjadi urat nadi ekonomi masyarakat pesisir. Para nelayan memanfaatkan lokasi ini untuk bongkar muat hasil tangkapan serta tempat beristirahat selepas melaut.

“Banyak warga yang bekerja di sini. Banyak juga pendatang yang sewa rumah untuk bekerja di perusahaan-perusahaan tambang. Namun masyarakat sini sebagian besar tetap mencari ikan di laut,” ujar seorang warga lain yang sehari-harinya tinggal di sekitar dermaga.
Rumah-rumah nelayan berdiri bersisian dengan area pengolahan ikan dan tempat pengeringan. Di kejauhan, barisan pohon cemara laut memagari garis pantai, menambah pesona alami Desa Bunati. Namun, kondisi tambatan kapal dan fasilitas dermaga yang seadanya menunjukkan kebutuhan akan peningkatan infrastruktur perikanan demi menunjang aktivitas ekonomi dan keselamatan nelayan.

Desa Bunati adalah cermin ketangguhan dan semangat warga pesisir dalam merawat potensi lokal di tengah keterbatasan. Dengan dukungan yang tepat, desa ini berpotensi besar menjadi kawasan pesisir unggulan di Tanah Bumbu.