Oleh: As’ad Bukhari, S.Sos., MA (Analis Intelektual Muhammadiyah Islam Berkemajuan)
Diskursus pemikiran keagamaan di era kontemporer seringkali berputar di sekitar tiga kata kunci: pluralisme, toleransi, dan moderasi. Ketiganya digunakan untuk menggambarkan wajah Islam yang lebih ramah dan inklusif. Namun, ideologi ini bukanlah Islam murni, baik secara teks maupun konteks, melainkan sebuah sintesis dari berbagai aliran ideologis, mulai dari kiri hingga kanan. Dalam diskursus ini, pluralisme, toleransi, dan moderasi sering kali dihubungkan dengan ideologi sekularisme, liberalisme, dan kapitalisme yang berasal dari budaya demokrasi global. Secara ideal, konsep ini tidak bermasalah, tetapi dalam tataran politik dan kekuasaan, hal ini sering menghasilkan dampak yang tidak seimbang.
Di Muhammadiyah sendiri, terjadi variasi pemikiran dalam memaknai pluralitas beragama. Bagi kalangan yang mendukung pluralisme agama, Muhammadiyah dinilai terbuka terhadap perbedaan, demi terwujudnya toleransi dalam kerangka kebhinekaan. Namun, konsep pluralitas agama dalam Muhammadiyah sesungguhnya lebih tepat dipahami sebagai pengakuan akan keberagaman agama tanpa mencampuradukkan ritual, simbol, atau keyakinan. Muhammadiyah menekankan pentingnya kerukunan tanpa merelativisasi nilai-nilai aqidah.
Sementara toleransi di Muhammadiyah berarti menjaga keharmonisan dengan umat beragama lain tanpa melanggar batas syariat. Toleransi ini bukan berarti semua agama dianggap benar, melainkan sebuah penghormatan tanpa harus merusak keotentikan ajaran agama Islam. Muhammadiyah juga menekankan moderasi beragama dalam perspektif yang berbasis pada Al-Qur’an dan Sunnah, bukan sekadar interpretasi yang cenderung liberal.
Keragaman Pemikiran dalam Muhammadiyah
Dalam Muhammadiyah, perbedaan ideologi keagamaan tetap menemukan ruangnya meskipun sudah melalui pedoman-pedoman seperti Khittah, Matan Kepribadian, dan Risalah Islam Berkemajuan. Seiring perubahan kepemimpinan, pendekatan ideologis sering mengalami siklus yang berbeda. Bagi mereka yang memperjuangkan pluralisme agama di Muhammadiyah, keberhasilan ini menjadi bukti bahwa pluralisme agama sudah diterima sebagai sebuah simbolisasi di Muhammadiyah. Namun, perbedaan ini terkadang menghasilkan nuansa berlebihan sehingga mengaburkan tujuan utama Muhammadiyah.
Pluralitas dalam Muhammadiyah adalah upaya mencari jalan tengah di antara klaim pluralisme agama. Muhammadiyah mengakui perbedaan agama namun tidak mendukung kolaborasi ritual antaragama yang justru merusak keaslian ajaran Islam. Pandangan Muhammadiyah tentang pluralitas lebih berfokus pada nilai kemanusiaan dan keadaban tanpa harus menciptakan kehebohan atau sensasionalisme yang kontraproduktif.
Warga Muhammadiyah yang Setia dan Awam
Warga Muhammadiyah yang setia, termasuk jamaah awam, memiliki pandangan dan tujuan yang sederhana: hidup damai dan memperoleh kesejahteraan spiritual tanpa konflik. Namun, jamaah awam Muhammadiyah modern juga memiliki pemahaman yang lebih kritis terkait nilai tauhid, aqidah, dan isu politik praktis. Dalam konteks ini, jamaah awam harus dipelihara sebagai warga yang setia mengikuti kegiatan Muhammadiyah tanpa terlalu banyak menuntut.
Secara keseluruhan, menjaga harmonisasi dalam Muhammadiyah memerlukan kebijaksanaan dalam menyikapi perbedaan pandangan, terutama untuk menciptakan suasana yang produktif dan selaras dengan nilai-nilai Islam berkemajuan.
Oleh: As’ad Bukhari, S.Sos., MA (Analis Intelektual Muhammadiyah Islam Berkemajuan)
Editor: Om Anwar dan dipublikasikan melalui KalimantanSmart.Info