
BATULICIN, KALSMART.info – Namanya TPI Batulicin, namun letaknya justru berada di pusat Kota Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu. Mungkin penamaan ini sudah melekat sejak lama, karena Batulicin adalah ibu kota kabupaten. Meski begitu, bagi para nelayan, pedagang, dan pembeli, nama bukan soal—yang penting adalah aktivitas di dalamnya.
Sekitar pukul 03.00 dini hari, dermaga sudah penuh dengan para pembeli ikan. Mereka datang dengan mobil pick-up, truk, hingga sepeda motor yang di belakangnya terpasang boks ikan. “Kalau jam segini yang datang pembeli besar semua, biasanya buat kulakan ke pasar,” ujar Saleh, seorang pedagang ikan asal Maros, Sulawesi Selatan.
Saleh malam itu terlihat santai. Sambil menunggu bongkaran ikan berikutnya, ia duduk di warung sederhana milik seorang ibu yang menjual nasi, pisang goreng, dan roti goreng—atau yang biasa disebut kue ontok. “Nah ini… mumpung masih panas, silakan dicoba,” kata si ibu sambil menyodorkan piring berisi gorengan ke meja kami. Saleh tersenyum, menyeruput kopi panasnya. “Kalau dingin begini, kopi sama gorengan panas itu rejeki,” candanya.

Di seberang warung, seorang penjual jamu berhenti dan berdiri menawarkan dagangannya. Botol-botol jamu tersusun di atas sadel motornya. “Mau jamu? Ada beras kencur, kunyit asam, mumpung masih hangat,” tawarnya ramah. Sebagian pembeli ikan yang sedang menunggu kapal pun membeli segelas untuk menghangatkan badan.
Kapal es biasanya mulai masuk bergantian sejak selepas Isya hingga menjelang subuh. Bongkaran ikan dimulai sekitar pukul 02.00. Malam itu, sekitar 15 kapal es sandar di dermaga TPI Batulicin. Mereka membawa ikan hasil tangkapan nelayan yang sedang melaut, untuk kemudian dibawa ke pelabuhan pendaratan ikan seperti di sini.
Jenis ikan yang dibongkar beragam—ikan tongkol dari Sulawesi yang masih berbungkus plastik es, yang oleh beberapa pedagang diakui rasanya berbeda dengan tongkol Kalimantan. “Beda, rasanya lebih gurih, dagingnya padat,” ujar Saleh sambil menunjuk tumpukan tongkol yang baru diturunkan.

Selain tongkol, banyak terlihat ikan lajang, ikan rumah-rumah, selar, kembung, kakap merah, hingga tenggiri. Ikan air tawar pun ada, seperti nila, patin, lele, dan udang. “Kalau nila biasanya dari Martapura, Kabupaten Banjar. Lele dan patin ya lokal sini,” jelas Saleh sambil merapikan boks ikannya.
Menjelang pukul 06.00, giliran ibu-ibu rumah tangga mulai berdatangan. Mereka adalah pembeli eceran, biasanya hanya mengambil satu atau dua kilogram ikan untuk kebutuhan harian. “Kalau jam segini ibu-ibu sudah turun, kita nyebutnya pembeli kiloan,” kata Mulyadi, pedagang ikan keliling asal Sepunggur.
Mulyadi setiap hari berjualan di jalan menuju pelabuhan ferry penyeberangan. Pagi itu, ia bercerita sambil menikmati sarapan nasi kuning dan segelas teh hangat di warung yang sama. “Kalau musim tenggara begini, ikan agak susah. Rumah-rumah biasanya tiga puluh tiga ribu per kilo, sekarang hampir empat puluh tiga ribu. Mahal, tapi mau gimana, musim begini,” keluhnya.

Musim tenggara biasanya terjadi pada bulan Juli, Agustus, hingga September. Saat musim ini, angin kencang membuat nelayan sulit melaut, sehingga pasokan ikan menurun dan harga naik. “Kalau angin tenggara, ya pancing banyak nganggur,” ujar Mulyadi sambil tertawa kecil.
Di sela-sela percakapan, beberapa kapal es kembali merapat. Suara mesin kapal bercampur dengan teriakan buruh bongkar muat yang mengangkat boks-boks ikan. Aroma ikan segar bercampur udara laut memenuhi pelabuhan. Para pedagang sibuk memilih ikan terbaik untuk dibawa pulang dan dijual kembali.
Saleh mengaku sudah terbiasa dengan ritme ini. “Kalau kita mau dapat ikan bagus, ya harus datang jam-jam segini. Begadang itu sudah biasa,” katanya sambil mengunyah kue ontok yang masih hangat.

Mulyadi pun mengangguk setuju. “Kadang kita tunggu kapal dari jam dua malam sampai subuh baru bongkar. Kalau siang? Ya nggak ada, ikan sudah habis semua,” ujarnya.
Di kawasan ini, selain penjual gorengan dan nasi, ada pula pedagang minuman panas, penjual rokok, hingga kios kecil yang menyediakan perlengkapan melaut. “Pasar subuh begini bukan cuma jual ikan, tapi jual macam-macam,” kata Saleh.
Saat dihubungi melalui sambungan telepon, Zulkarnain—akrab disapa Ijul—Sekretaris Dinas Perikanan Tanah Bumbu, menjelaskan bahwa seluruh kompleks ini sebenarnya adalah PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan) yang dikelola oleh provinsi. “TPI itu hanya bagian dari PPI. Kalau TPI pengelolaannya kabupaten, sedangkan PPI milik dan dikelola provinsi,” ujarnya.

Menurut Ijul, penamaan TPI Batulicin mungkin masih melekat karena lebih dikenal masyarakat, meskipun secara resmi lokasinya berada dalam kawasan PPI. “Dari dulu orang tahunya TPI Batulicin, jadi ya disebutnya itu terus,” katanya.
Menanggapi keluhan pedagang soal toilet, Ijul mengatakan bahwa fasilitas toilet di kawasan tersebut sebenarnya cukup banyak. “Toilet banyak sudah di sana. Kabupaten tidak bisa membangun, provinsi yang membangun. Di musala juga ada banyak,” ucapnya.
Namun, ia mengaku tidak tahu mengapa beberapa toilet justru terkunci. “Oh, kurang paham kenapa kalau dikunci, bang,” ujarnya. Pernyataan ini langsung membuat suami penjual gorengan yang juga duduk di sebelah saya hanya bisa tersenyum miris.

“Kalau mau buang air itu sakit sekali rasanya kalau nggak ada toilet yang bisa dipakai. Biar kita bayar pun nggak masalah, yang penting fasilitasnya ada dan layak,” kata Mulyadi. Ia menghela napas panjang. “Kasihan orang yang datang dari jauh-jauh, kalau mau buang air kecil atau besar jadi tersiksa. Untung mushala di sini lumayan bagus,” tutupnya. (Om Anwar).