Tanah Bumbu – Budidaya perikanan di daerah pesisir seperti Kabupaten Tanah Bumbu menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Dalam sebuah diskusi santai pada Minggu, 18 Mei 2025, para penyuluh perikanan berbagi pengalaman dan pandangan mereka mengenai kendala yang dihadapi oleh para pembudidaya ikan di lapangan.
Puspa Heriani, penyuluh perikanan di wilayah Kusan Hilir dan Kusan Tengah, mengungkapkan keterbatasan fasilitas pendukung yang ada, terutama terkait alat untuk mengukur kualitas air.
“Alat kualitas air saat ini kurang tersedia. Dulu memang ada alat dari dinas, tapi jumlahnya terbatas dan tidak merata. Tergantung lokasi, ada yang alatnya lengkap, ada yang hanya sebagian saja,” ujarnya.
Selain itu, ketiadaan pupuk subsidi untuk budidaya ikan air payau menjadi permasalahan lain yang dirasakan di lapangan. Sasmiyanto dan Rusadi, yang bertugas di Simpang Empat, Batulicin, dan sekitarnya, mengungkapkan bahwa kebijakan penghapusan pupuk subsidi untuk petambak tradisional berimbas langsung pada produksi budidaya.
“Petambak kesulitan mendapatkan pupuk subsidi, sehingga biaya produksi semakin tinggi,” kata mereka.
Eko Priyo Raharjo, penyuluh yang membawahi wilayah Angsana, Sungai Loban, Kusan Hilir, dan Simpang Empat, memaparkan kendala teknis yang cukup dominan, mulai dari kualitas dan ketersediaan air.
“Mayoritas kolam budidaya di Tanah Bumbu merupakan kolam tadah hujan yang sangat bergantung pada musim. Saat kemarau panjang, debit air menurun drastis dan memengaruhi kualitas serta suplai air budidaya,” jelasnya.
Ia menambahkan,
“Kolam dengan sumber air yang pasti hanya ada di cekdam, sedangkan kolam tadah hujan mengandalkan air hujan tanpa adanya pintu masuk dan keluar air sehingga pengelolaan air menjadi sangat terbatas.”
Pengukuran tingkat pencemaran air idealnya dilakukan di laboratorium, namun untuk pengukuran dasar seperti suhu, pH, dan salinitas, alat-alat pendukungnya tidak selalu tersedia di lapangan.
“Alat kualitas perairan seperti termometer, pH meter, refraktometer, dan DO meter bisa digunakan, tapi ketersediaannya masih belum merata,” tambah Eko.
Masalah lain yang sering muncul adalah harga pakan yang terus meningkat, yang menjadi salah satu biaya terbesar dalam usaha budidaya ikan. Ketergantungan pada pakan pabrik membuat pembudidaya sulit menekan biaya produksi. Selain itu, wabah penyakit juga menjadi tantangan yang harus dihadapi.
“Penyakit sering muncul ketika kualitas air menurun atau kepadatan ikan terlalu tinggi, sementara pengetahuan tentang manajemen kesehatan ikan masih terbatas,” ujar Eko.
Permasalahan harga jual ikan pun kerap menjadi perhatian. Fluktuasi harga terutama saat panen massal membuat pendapatan pembudidaya tidak stabil. Ditambah lagi, akses ke pasar yang jauh serta biaya distribusi yang tinggi menambah beban pembudidaya.
“Harga ikan bisa turun drastis saat panen ramai, sementara ongkos distribusi cukup tinggi jika dijual ke luar daerah,” tambah Eko.
Dari sisi pembiayaan, Nor Jennah, penyuluh untuk wilayah Kusan Hilir dan Kusan Tengah, menjelaskan bahwa modal dan risiko kerugian menjadi penghalang bagi pembudidaya untuk mengembangkan usahanya.
“Banyak pembudidaya takut mengambil kredit karena khawatir tidak bisa mengembalikan modal. Padahal rata-rata panen dua kali setahun, bahkan ada yang panen dua bulan sekali,” katanya.
Menurut Nor Jennah, pemikiran tentang keseimbangan antara pengembalian modal dan hasil budidaya masih menjadi pertimbangan besar bagi para petambak.
Sedangkan Sri Narsih dari Satui menyoroti aspek pemasaran ikan yang kurang mendukung.
“Harga pakan mahal, tapi harga jual ikan sering rendah karena pasar banyak dikuasai tengkulak. Selain itu, belum ada tempat khusus seperti pasar ikan yang menjamin penjualan, sehingga saat panen banyak pembudidaya kesulitan mencari pembeli atau harus menerima harga yang jauh lebih rendah,” jelasnya.

Berbagai pengalaman para penyuluh menunjukkan bahwa kendala budidaya perikanan di daerah pesisir tidak hanya soal teknis, tetapi juga menyangkut aspek ekonomi dan sistem pemasaran. Kolaborasi antara pembudidaya, penyuluh, pelaku pasar, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya menjadi kunci untuk menemukan solusi yang tepat.
Peningkatan infrastruktur pendukung, penguatan kapasitas teknis, akses pembiayaan yang lebih mudah, serta pengembangan pasar yang adil diharapkan dapat menjadi langkah ke depan demi meningkatkan kesejahteraan pembudidaya ikan di Tanah Bumbu dan daerah pesisir lainnya.
KalimantanSmart.INFO – Om Anwar