
BATULICIN, KALSMART.info – Pagi-pagi sekali, sekitar jam lima subuh, Taufik Rahman yang akrab dipanggil Cupi baru saja kembali dari ronda malam. “Saya ini anggota Linmas, sebulan bisa sampai tujuh kali ronda. Kalau ada penganten, tugasnya bertambah lagi,” ujarnya dengan senyum ramah. Meski gajinya hanya Rp450 ribu per bulan, semangatnya tak pernah surut.
Cupi tinggal di RT 1, Desa Betung, sebuah desa yang dikenal sebagai pusat pembudidayaan. Tambaknya sendiri ada di RT 01. Saat ditemui di pondok tambaknya, ia tengah memeriksa hasil budidaya kepitingnya. “Kepitingnya baru sebulan lewat lima hari, sudah ada yang beratnya sampai setengah kilo,” katanya penuh kebanggaan. Namun panen belum bisa dilakukan. “Cangkangnya masih lembek, belum keras.”
Dari bibit yang dibeli sebulan lalu—sekitar 30 kilogram dalam satu boks dari Setarap—ia berhasil mendapatkan tiga baskom kepiting. Selain kepiting, Cupi pernah mencoba budidaya udang tiger. “Sering coba, tapi belum pernah berhasil. Belum pernah merasakan panennya,” katanya. Ikan bandeng sudah pernah dinikmati hasilnya, tapi belum pernah dijual.
Selain mengurus tambak, Cupi juga aktif mengumpulkan hasil laut seperti cumi, ikan teri, ikan tembang, dan kakap dari para nelayan bagang. “Kalau cumi, biasanya sebulan sekali uangnya disetor ke mereka. Kalau mereka butuh, kami juga kasih pinjaman sebulan sekali,” jelasnya.
Teman Cupi, Khairul Anwar atau Iril, ikut menunggu di pondok tambak. “Buaya sering masuk ke sungai sini,” kata Iril sambil menunjuk aliran sungai yang membentang di belakang tambak. Ia tinggal di RT 03, tapi tambaknya ada di RT 01. Berbeda dengan Cupi yang penuh waktu di tambak, Iril bekerja di perusahaan sawit dan hanya mengurus tambak saat sore atau hari libur.
Di batas antara sungai dan tambak, mereka memasang pipa saringan — pipa berlubang yang berdiri tegak. “Pipa ini buat biar ikan kecil bisa masuk ke tambak, tapi ikan besar tidak bisa keluar,” jelas Iril.

Luas tambak di RT 01 sekitar 30 hektar, namun kelompok mereka hanya mengelola sekitar 10 hektar. Ketua kelompoknya bernama Mustafa, warga asal Jawa. Cupi kini berusia 39 tahun, ayah dua anak, sedangkan Iril 32 tahun dan juga ayah dari dua anak.
Keduanya mengungkapkan harapan sekaligus tantangan yang dihadapi. “Kami sebenarnya sudah punya lahan tambak, tapi kendalanya bantuan bibit masih kurang,” kata Cupi. “Kadang dengar kabar bantuan, tapi tidak sampai ke kami.”
Hal itu juga ditekankan Iril. “Betul, bantuan sering terdengar, tapi entah kenapa belum sampai ke kelompok kami.”
Selain bibit, mereka juga kesulitan mendapatkan pupuk phonska untuk menyuburkan lumut tambak, makanan alami ikan bandeng dan udang. “Harganya cukup mahal, susah kami beli,” kata Cupi.
Iril menambahkan, “Di sini masyarakatnya dominan Bugis. Selain itu ada juga orang Banjar dan Jawa.”
Pupuk Phonska sendiri adalah pupuk majemuk yang mengandung unsur hara penting seperti nitrogen, fosfor, kalium, dan sulfur. Dalam budidaya tambak, pupuk ini digunakan untuk merangsang pertumbuhan lumut dan plankton sebagai pakan alami ikan dan udang. Meskipun umumnya digunakan di sektor pertanian, para petambak seperti Cupi dan Iril mengandalkannya untuk meningkatkan produktivitas, meski kerap terhambat oleh harga tinggi dan keterbatasan distribusi.
Meski sibuk dengan ronda malam, kerja di sawit, dan urusan tambak, mereka tetap menyimpan harapan besar. “Kepitingnya belum keras sekarang, tapi kami yakin nanti bisa panen besar,” tutup mereka penuh optimisme. (Om Anwar)