
Tanah Bumbu, Di sebuah sore yang hangat di Desa Sepunggur, Kecamatan Kusan Tengah, dua sosok duduk santai di teras rumah panggung beratapkan seng. Segelas kopi hitam mengepul pelan di atas meja. Di belakang rumah, hamparan tambak membentang luas sejauh mata memandang. Angin lembut membawa aroma air payau dari Sungai Kusan dan Sungai Buaya, khas kawasan pesisir.
Di sanalah Haji Kaharuddin (50), akrab disapa Haji Kahar, menerima kami dengan ramah. Ia adalah seorang petambak sekaligus tokoh masyarakat suku Bugis di RT.06 Sepunggur. Di sampingnya duduk Wa’ Sape’, tetua kampung yang kini berusia 85 tahun, yang juga tak kalah semangat bercerita. Sore itu menjadi saksi perbincangan tentang asal-usul para petambak di wilayah yang kini menjadi sentra budidaya udang, bandeng, dan kepiting di Kabupaten Tanah Bumbu.
“Saya ini Bugis, generasi ketujuh yang lahir dan besar di sini. Nenek saya dari Baranti, Sidrap, Sulawesi Selatan,” kata Haji Kahar sembari menyesap kopi. “Kami orang Bugis sudah ratusan tahun di Sepunggur ini,” tegasnya. “Sedangkan Wa’ Sape’,” ujarnya sambil tersenyum, “keturunan dari Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.”
Wa’ Sape’, yang memiliki tujuh anak, tersenyum sambil mengangguk. “Iya, nenek moyang saya orang Bone,” sahutnya. Obrolan pun berlanjut ringan, namun sarat makna.

Haji Kahar, yang menunaikan ibadah haji tahun 2008 dan kini memiliki tiga anak, mulai membuka cerita tentang kehidupan tambak saat ini. “Isinya tambak udang, ada juga yang memelihara kepiting, ada juga ikan bandeng. Cuma masih lebih banyak yang pelihara udang. Bahkan ada juga yang sukses pelihara ikan nila. Terutama bagian air payau dari Sungai Kusan. Kalau yang dari Sungai Buaya ini airnya asin, untuk kepiting, bandeng, dan udang,” jelasnya.
Menariknya, di tengah ratusan hektare lahan tambak itu berdiri sebuah masjid. “Masjid ini digunakan salat Jumat. Bahkan salat hari raya juga,” ujar Haji Kahar. Ia lalu menunjuk rumah-rumah warga yang tampak tersebar berjauhan di antara tambak. “Rumah-rumah di tambak ini terpisah-pisah… karena mendirikan rumah di samping lahan mereka sendiri. Rata-rata penduduknya suku Makassar dari Maros dan Pangkep.”
Menurutnya, para pendatang suku Makassar mulai berdatangan antara tahun 1988 hingga 1990. “Awalnya di sini hanya hutan bakau dan hutan nipah serta kebun kelapa milik masyarakat. Nek Nguju’ namanya. Hutan bakau sangat luas di pesisir sebelah sana,” kenangnya. “Dulu orang-orang Makassar datang dari Sulawesi ke RT.06. Tapi sudah ada juga orang Makassar di Segumbang sama Sungai Perak,” tambahnya.
Soal harga tanah dulu, Haji Kahar tak lupa menyebutkan: “Mereka beli tanah saat itu kisaran enam ratus ribu saja. Dulu ada orang Makassar namanya Haji Sido’, itu yang beli lokasi berpuluh hektare. Sekarang tinggal anak cucu mereka yang mengelola, melanjutkan sampai sekarang.”

“Kalau di sini mayoritas orang Makassar yang betambak. Sebagian kecil orang Bugis pribumi. Orang Bugis Sepunggur itu Nek Nguju, Nek Rewe, Nek Menang… Mereka sebagian dari Bone dan sebagian dari Baranti Sidrap. Kami sudah tujuh turunan di sini dari Baranti,” ulang Haji Kahar dengan nada bangga.
Tak hanya gigih, orang-orang Makassar dikenal ulet bertahan di tengah daerah yang panas menyengat ini. Bahkan, kenang Haji Kahar, “perempuan-perempuan mereka dulu biasa majjujung wae, mengangkat air dengan ember di atas kepala dari pinggir jalan sejauh tiga kilometer. Saking tahan dan kuatnya mereka. Itu yang bikin kami salut.”
Tepat pada hari Kamis, 29 Mei 2025, masyarakat RT.06 dalam suasana nostalgia itu, Wa’ Sape’ pun turut berkisah tentang masa silam. “Sejarahnya waktu orang mulai berhenti mengayu… Dulu ada bandsaw (mesin gergaji) kayu. Setelah bandsaw, baru datang orang Makassar dari Sulawesi. Awal mula mereka di sana tinggal,” katanya sambil menunjuk ke arah timur, tempat Gunung Dato tampak samar di kejauhan. “Awalnya Wa’ Tani yang manggil mereka. Awalnya tanah 400 ribu, terus naik 600, terus sampai 1 juta per hektare… sampai dijual 10 juta, dijual kembali ke orang Bugis.”

Ia juga masih ingat betul perjuangan warga kala itu. “Ceritanya bolak-balik jalan kaki ke pinggir jalan raya sejauh 3 kilometer sebelum ada jalan. Saya ingatnya begitu… Majjujung wae, atau mengangkut air di atas kepala dengan ember air sejauh 3 kilometer. Kalau musim kemarau, karena air di sini tidak bisa diminum. Saat itu belum ada sumur bor,” ungkapnya.
Kini kondisi sudah jauh berbeda. “Sekarang tiap rumah ada sumur bor. Sumur bor itu mulai 15 tahun lalu. Waktu itu, kades membagi satu RT satu sumur,” kenang Wa’ Sape’.
Soal panen tambak, jawabnya sederhana tapi dalam. “Tidak menentu. Terkadang empat tahun baru total dikeringkan tambaknya. Diracun supaya tanahnya subur kembali. Bagaimana mau dipupuk kalau tidak ada pupuknya,” katanya. Ia pun bercerita tentang awal mula dirinya memiliki tambak. “Dulu saya beli tambak itu, jual kerbau dua. Kerbau dijual 400 ribu. Jadi tanah itu harganya cuma 800 ribu. Dulu dua hektare itu saya kerjakan selama enam bulan, pakai parang dan alat manual,” ujar Wa’ Sape’. “Kerbau itu dulu dipakai menarik kayu di hutan Pal 42.”
Hari mulai senja, langit berubah jingga. Dua generasi petambak itu menutup kisah mereka sambil menatap tenang ke arah tambak. Dari hutan bakau hingga hamparan tambak yang kini jadi tulang punggung ekonomi, Sepunggur menyimpan cerita panjang perjuangan dan ketekunan.
Kini, lahan-lahan tambak itulah yang menjadikan Desa Sepunggur sebagai salah satu andalan budidaya perikanan di Kabupaten Tanah Bumbu, dan rumah bagi sejarah panjang masyarakat Bugis dan Makassar yang menapaki tanah rawa menjadi ladang penghidupan.