
BANJARBARU, KALSMART.info — Di balik kisah gelap peristiwa Amuk Banjarmasin 1997, tersimpan cerita unik tentang perjuangan mempertahankan hak cipta atas karya foto seorang pemuda bernama Faisal atau dipanggil Ical. Foto-foto hasil jepretannya ternyata digunakan tanpa izin dalam sebuah buku berjudul Amuk Banjarmasin yang didistribusikan secara komersial, memicu masalah hukum yang pelik.
“Awalnya Ical kaget ketika mengetahui ada tujuh foto miliknya terpajang di buku Amuk Banjarmasin tanpa izin,” ungkap Robert Hendra Sulu, S.H., advokat yang kemudian dipercaya untuk membela Ical. “Dia tidak tahu sama sekali, lalu atas saran temannya, dia datang menemui saya.”
“Waktu itu Ical mencari saya atas saran temannya,” ujar Robert saat ditemui di rumah kayunya di Banjarbaru. “Temannya bilang: ‘Kalau perkara begini, cari saja Robert.’ Dan betul, akhirnya kami janjian di Banjarmasin, ketemu di Hotel Barito—sekarang namanya sudah berubah jadi Hotel Aria Barito.”
Untuk bertemu kliennya, Robert memilih menghindari pengawasan. Ia tidak tinggal atau tidur di hotel besar mana pun di Banjarmasin, melainkan sengaja menginap diam-diam di sebuah penginapan kecil bernama Bang Amat, yang tersembunyi di gang belakang toko buku Hasnur. “Saya tidak mau terlacak. Situasinya sangat tegang. Waktu itu banyak isu penculikan,” kenangnya.
Dalam pertemuan pertama itu, Ical berterus terang bahwa ia tidak memiliki biaya untuk membayar jasa hukum. Tapi Robert tidak bergeming. “Saya bilang, nggak usah pakai uang. Ini soal keadilan. Pokoknya kamu tanda tangan surat kuasa penuh,” tuturnya.
Setelah itu, Robert memulai penelusuran mandiri untuk mengetahui sejauh mana buku yang memuat foto-foto Ical itu beredar. Ia menyambangi toko-toko buku di Banjarmasin, Jakarta, hingga Surabaya. “Saya perlu bukti bahwa buku itu memang dijual secara umum,” tuturnya.
“Kala itu saya ke Jakarta melakukan penelusuran mandiri,” ujar Robert. “Saya ingat, hotel tempat saya menginap itu namanya Hotel Djayakarta… ya, Hotel Djayakarta. Suasana waktu itu Jakarta sedang ramai-ramainya demo besar-besaran. Jalanan penuh massa, aparat berjaga di mana-mana, tapi saya tetap harus masuk ke toko-toko buku satu per satu. Saya mencari sendiri buku itu, melihatnya langsung, mencatat, dan memotret sebagai bukti.” Ia menghela napas sebentar, lalu menambahkan, “Bagi saya, ini bukan cuma perkara hak cipta. Ini soal menghargai jerih payah seseorang.”
…Bersambung.