Next Post

Cerita Perlawanan Robert Hendra Sulu, S.H.: Gugatan Hak Cipta Bersejarah vs YLBHI – Part 6

Ribuan buku hukum tersusun rapi di lemari kaca Rumah Hukum Robert Hendra Sulu, S.H., Banjarbaru, 6 September 2025.

BANJARBARU, KALSMART.info – Fajar baru saja menyingsing ketika dering telepon memecah keheningan, bersahutan dengan lantang azan Subuh. Langit Banjarbaru perlahan berangsur terang, mengikis sisa gelap malam. Tak lama kemudian, langkah kami mengarah ke sebuah ruko dua lantai di Jl. A. Yani Km 31, Guntungmanggis, Landasan Ulin, Banjarbaru—tempat yang dikenal sebagai Rumah Hukum milik Robert Hendra Sulu, S.H.

Suasana di lantai dua kantor itu sederhana, namun berwibawa. Lemari-lemari kaca berjajar rapi, dipenuhi ribuan buku hukum dengan label kode, menyerupai perpustakaan kecil yang dibangun dari ketekunan panjang. Aroma kertas tua berpadu dengan cahaya pagi yang menembus jendela, menghadirkan ketenangan sekaligus khidmat.

Robert muncul dengan penampilan apa adanya, jauh dari kesan kaku seorang pengacara konvensional. Topi yang dipasang terbalik, kemeja lapangan longgar, dan tanda pengenal yang tergantung di leher membuatnya lebih mirip aktivis lapangan ketimbang advokat di ruang sidang. Gayanya santai, tapi sorot matanya tegas—seolah ingin menegaskan bahwa hukum bukan sekadar teks di buku, melainkan perjuangan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Robert kemudian menyitir kalimat klasik yang pernah diungkapkan filsuf dunia, St. Augustine: “An unjust law is no law at all — hukum yang tidak adil sejatinya bukan hukum.” Ucapannya terdengar bukan sekadar kutipan, melainkan refleksi dari pengalaman pahit yang ia saksikan langsung pada 23 Mei 1997, peristiwa Jumat Kelabu Banjarmasin.

Di hadapan rak-rak buku itu, Robert berdiri sambil menyentuh sampul usang yang mulai menguning. “Tempat ini ruang di mana saya bisa merenung, belajar, dan mengulang lagi cerita-cerita yang pernah terjadi,” ujarnya.

Baca Juga :  Cerita Perlawanan Robert Hendra Sulu, S.H.: Jumat Kelabu 1997 (Part 4) — Mencari Bukti di Jakarta dan Surabaya

Ia punya kebiasaan yang tak pernah berubah sejak puluhan tahun: bangun pukul 04.00 dini hari. Saat kebanyakan orang masih lelap, ia membuka catatan-catatan perjuangannya. “Subuh itu waktu paling jernih,” katanya pelan, “saat saya bisa memeriksa ulang hidup saya, sambil mencari kekuatan dari kisah masa lalu.”

Kemudian Robert menundukkan wajah, menuturkan kisah dengan nada rendah namun penuh tekanan:

Robert Hendra Sulu, S.H. saat membuka arsip kliping lama terkait gugatan hak cipta buku Amuk Banjarmasin di “rumah hukum”-nya, Banjarbaru, 16 Juni 2025.

“Baik… pada tahun 1997 itu, peristiwanya sampai sekarang sulit sekali saya lupakan. Karena peristiwa itu juga hampir merenggut jiwa saya. Jujur saja, waktu itu saya sama sekali tidak berpikir untuk membuat gugatan. Tidak ada. Saya hanya kebetulan berada di tengah peristiwa itu. Tapi dari kebetulan itulah lahir kekuatan baru yang mendorong saya untuk bergerak. Saya ingat persis, di titik yang sama sehari sebelumnya saya berdiri bersama seorang sahabat. Itulah awalnya.”

Ia menarik napas panjang. “Perjalanan waktu itu membawa saya pada sebuah buku. Awalnya tidak terlalu menarik bagi saya. Sosok-sosok besar seperti Munir atau kasus-kasus buruh di Jawa Timur, saya sudah tahu. Tapi kemudian ada seseorang dari LSM yang datang. Saya lupa namanya. Dialah yang menyampaikan bahwa Faisal—seorang wartawan foto—membutuhkan pengacara. Banyak pengacara menolak. Mereka melihat ini kasus besar, lawannya lembaga bantuan hukum ternama yang dipimpin tokoh-tokoh penting waktu itu. Tapi anehnya, mereka justru datang mencari saya.”

“Orang LSM itu datang ke kantor saya di Mentaos, membawa sebuah buku dan gulungan film negatif. Dua orang. Saat itu juga saya berkata: kalau memang begitu, saya siap. Padahal saya sendiri belum benar-benar tahu gugatan macam apa yang akan saya ajukan. Tapi saya merasa ini panggilan. Saya sampaikan kepada keluarga bahwa risikonya besar, karena lawan kuat sekali. Tapi keyakinan batin saya menuntun. Saya lihat Faisal, saya lihat foto-fotonya—ada gambar polisi dikejar massa, itu kuat sekali. Saya buka halaman demi halaman, lalu berkata kepadanya: ini bukti. Foto ini milikmu. Dan kita harus bergerak.”

Baca Juga :  Cerita Perlawanan Robert Hendra Sulu, S.H.: Jumat Kelabu 1997 (Part 2) — Dari Kolam Sunyi yang Mengalirkan Keadilan —

Robert mengaku sempat dilanda ragu. “Saat mulai menyusun gugatan, saya benar-benar berpikir keras. Lawan saya bukan sembarangan: lembaga dengan nama besar, banyak pengacara. Sementara saya hanya sendiri, dengan mesin tik tua yang sering salah ketik. Berkali-kali gugatan saya ulang, salah, lalu diketik lagi. Tapi semangat saya tidak padam. Saya yakin bukti ini tidak terbantahkan. Akhirnya gugatan saya ajukan ke Pengadilan Negeri Banjarmasin.”

Hari sidang tiba. “Saya datang sendiri. Di hadapan saya duduk enam belas pengacara mewakili pihak lawan. Enam belas! Bisa dibayangkan bagaimana rasanya. Tapi saya tidak gentar. Karena saya punya bukti: foto asli, negatif klise, dan saksi yang siap bersumpah. Hakim akhirnya menjatuhkan putusan serta-merta. Itu luar biasa, karena jarang sekali terjadi di peradilan perdata. Artinya, meski ada upaya banding, putusan langsung bisa dilaksanakan.”

Kliping koran yang mengabadikan momen bersejarah gugatan buku Amuk Banjarmasin. Robert Hendra Sulu, S.H., tampil sebagai pengacara tunggal melawan barisan kuasa hukum YLBHI.

Robert berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Perkara itu akhirnya berakhir dengan perdamaian. Faisal menerima seratus juta rupiah. Tapi bagi saya, bukan itu intinya. Yang terpenting, saya belajar bahwa hukum bisa dimenangkan dengan keyakinan, meski kita sendirian. Saya melawan rasa takut, melawan suara-suara yang bilang saya nekat. Saya belajar: jangan pernah takut dibilang salah kalau niat kita untuk berbuat benar.”

Di ruang sederhana yang penuh ribuan buku, Robert menutup perbincangan subuh itu dengan sebuah kalimat lirih:

Fiat justitia ruat caelum—sekalipun langit runtuh, hukum harus tetap ditegakkan.”

Seperti pernah dikatakan Roscoe Pound, pakar hukum Amerika, “Hukum itu bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk melayani kebutuhan hidup manusia.

Bersambung ke Part 7…

Avatar photo

Redaksi

Related posts

Newsletter

Subscribe untuk mendapatkan pemberitahuan informasi berita terbaru kami.

Loading

banner kalimantansmartinfo
Iklan Berita (1)
banner kalimantansmart

Recent News