
BATULICIN, KALSMART, info – Namanya Kamran Zainuddin. Usianya 31 tahun. Asal Pagatan. Meski darah orang tuanya dari Lombok, ia lahir dan besar di tanah pesisir Kalimantan Selatan. Sehari-hari, Kamran bukan pegawai kantoran. Ia lebih sering berjalan di semak, menyusuri hutan, dan kadang menyeberangi rawa. Tugasnya: menjaga tiang-tiang raksasa Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) yang mengalirkan listrik dari Asam-Asam sampai Batulicin.
“Ulun (saya) di bawah naungan PLN, tapi lewat PCN. Kantornya di Banjar, pusatnya di Balikpapan,” kata Kamran saat ditemui di jalur SUTET di Desa Betung, Senin sore, 16 Juni 2025.
Ia menyebut tugasnya sebagai ground patrol. Artinya, patroli jalur SUTET dari darat. Setiap hari, ia bisa memeriksa 4 sampai 6 tiang. “Kadang seminggu itu 5–6 kali jalan. Dari Pulau Salak sampai Sungai Loban. Termasuk daerah Betung yang kadang tidak pernah dijamah orang.”
Saat musim hujan, risiko semakin besar. Petir bisa datang tiba-tiba.
“Pernah waktu itu, pas inspeksi, dua tahun lalu. Petir turun dari atas langsung ke bawah. Ulun kaget, HP langsung ulun lempar. HP bisa narik listrik, bahaya. Kalau gak sempat lempar, mungkin ulun yang kesambar.”

Kamran juga sering berhadapan dengan hewan liar. Di sungai sekitar Warung Makan Bandang, ia pernah hampir berpapasan dengan buaya.
“Biasanya gak ada buaya, tapi waktu itu orang buang ayam mati ke sungai, buayanya datang. Jadi mau nyebrang harus hati-hati.”
Di kawasan Betung, ia juga pernah melihat beruang.
“Besarnya kayak anak sapi, Om. Waktu itu semak masih rimbun.”
Tak hanya menjaga, Kamran dan teman-temannya juga membersihkan jalur. Rumput tinggi, semak belukar, dan pohon-pohon di bawah kabel harus ditebas sebelum tumbuh menyentuh kabel.
“Kalau pohon sudah kena kabel, bisa trip, bisa blackout. Satu Kalimantan bisa mati lampu. Kalau sampai tiang tumbang, mungkin berbulan-bulan padamnya.”

Ia menyebut, idealnya tidak boleh ada pemukiman atau pondok di bawah jalur SUTET.
“Pernah kemarin ada pondok, katanya waktu petir turun, pondoknya sampai bergetar. Radiasinya terasa. Bahaya. Itu pondok punya Hairil kayaknya. Harusnya jarak aman itu 50 sampai 100 meter.”
Pernah pula, ia dipanggil mendadak jam 3 subuh.
“Waktu itu laporan dari Sungai Loban, katanya ada pohon tinggi menyentuh kabel. Kami bertiga langsung turun. Benar saja, ada pohon kena kabel. Langsung kami tebang di tempat.”
Tim mereka memang dibagi tugas. Kamran dan rekan bertugas menjaga jalur bawah. Untuk bagian atas, seperti kabel atau jumper, ada tim khusus bernama Timhar.
“Kalau kurang orang, kami kadang bantu naik juga. Tapi cuma sampai tengah, gak sampai atas. Gak disarankan.”
Kamran menceritakan, saat jalur ini pertama kali dibangun, tidak ada jalan darat.
“Dulu angkut semen, pasangan batu, itu pakai perahu. Lewat sungai. Rintis dari awal. Luar biasa.”
Sekarang, jalur sudah lebih bisa dilalui, walau sebagian masih harus jalan kaki.
Di luar pekerjaannya, Kamran adalah ayah dua anak. Istrinya perempuan Bugis dari Pagatan. Ia hidup sederhana, tapi punya tanggung jawab besar. (Om Anwar)