Next Post

Rajin Ibadah, Kok Masih Korupsi? Apa yang Salah?

Karya Anak Bangsa

Indonesia dikenal sebagai negara dengan masyarakat yang religius. Namun, tingkat korupsinya masih tinggi, meskipun semua ajaran agama menentang praktik tersebut. Mengapa korupsi tetap merajalela meski nilai-nilai religius dijunjung tinggi?

Religiositas Tinggi, Korupsi Juga Tinggi

Menurut laporan Ceoworld Magazine (8 April 2024), Indonesia menempati peringkat ketujuh sebagai negara paling religius di dunia, dengan 98,7 persen responden mengaku religius. Survei Pew Research Center (2018) juga menunjukkan bahwa 93 persen masyarakat Indonesia menganggap agama sangat penting dalam kehidupan mereka.

Namun, di sisi lain, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2024 yang dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan bahwa Indonesia hanya memperoleh skor 37 dari skala 100. Meskipun ada sedikit peningkatan dibanding tahun sebelumnya (34), Indonesia masih berada di peringkat 99 dari 180 negara (Kompas.com, 30 Januari 2024).

Sebaliknya, negara-negara dengan tingkat religiositas rendah justru memiliki skor IPK lebih tinggi. Denmark, yang hanya 19 persen penduduknya mengaku religius (World Population Review, 2023), memiliki IPK 90, menjadikannya salah satu negara dengan tingkat korupsi terendah. Sementara itu, Singapura, dengan 70 persen penduduk religius (Statista, 2023), menempati peringkat ketiga negara dengan tingkat korupsi terendah.

Mengapa Agama Tidak Mencegah Korupsi?

Menurut Taufiq Pasiak, peneliti neurosains dan perilaku sosial, hubungan antara religiositas dan korupsi berkaitan dengan tiga fungsi eksekutif otak, yaitu:

  1. Fungsi pengambilan keputusan berbasis etik
  2. Sistem kendali diri
  3. Makna hidup

Jika ketiga fungsi ini tidak berjalan optimal, seseorang tetap bisa melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai religiusnya, termasuk korupsi (Tirto.id, 12 Februari 2024).

Selain itu, studi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2022 menemukan bahwa faktor lingkungan sosial sangat berpengaruh. Jika seseorang hidup di lingkungan yang membenarkan atau mendukung praktik korupsi, maka nilai-nilai agama yang diyakini bisa menjadi lemah (Tempo.co, 5 Mei 2023).

Baca Juga :  Tanah Bumbu Siap Bangun Industri Pengolahan Pakan Ternak Senilai Rp131 Miliar di Muara Pagatan

Religiositas Simbolik vs. Substansial

Menurut Mahatva Yoga Adi Pradana, peneliti sosiologi politik dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tingginya angka korupsi di Indonesia terjadi karena banyak orang hanya memiliki religiositas simbolik, bukan religiositas substansial (The Conversation Indonesia, 22 Desember 2023).

Religiositas simbolik terlihat dari tampilan luar, seperti pakaian, bahasa, dan ritual keagamaan yang ditampilkan di ruang publik. Sering kali, religiositas ini digunakan untuk kepentingan politik atau ekonomi, terutama saat seseorang mencalonkan diri dalam pemilu atau menghadapi masalah hukum.

Sebaliknya, religiositas substansial berakar pada nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, dan integritas. Sayangnya, nilai-nilai ini sering tidak diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Budaya Patrimonial dan Legitimasi Agama

Studi oleh Indonesian Corruption Watch (ICW), 2023, menyebutkan bahwa budaya patrimonial di Indonesia turut menyuburkan korupsi. Hubungan patron-klien membuat seseorang merasa harus loyal kepada kelompoknya atas nama balas budi, sehingga nepotisme dan praktik korupsi dianggap wajar (Kompas.com, 10 November 2023).

Selain itu, agama sering digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Banyak elite politik mendekati tokoh agama untuk mendapatkan dukungan, sementara tokoh agama sendiri juga memiliki kepentingan dalam relasi tersebut. Situasi ini memperkuat praktik kolusi dan nepotisme (Detik.com, 15 Januari 2024).

Solusi: Rekayasa Sosial dan Pendidikan Etik

Untuk mengatasi kontradiksi antara religiositas dan korupsi, perlu dilakukan rekayasa sosial melalui penegakan hukum yang tegas. Studi dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), 2023, menegaskan bahwa hukuman berat bagi pelaku korupsi harus diterapkan secara konsisten (CNN Indonesia, 8 Oktober 2023).

Selain itu, pendidikan agama berbasis etik perlu diperkuat sejak dini. Agama harus diajarkan sebagai kekuatan pembebas, bukan sekadar identitas atau alat politik.

Pada akhirnya, religiositas sejati bukan hanya terlihat dari ritual atau simbol, tetapi dari tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah bangsa yang benar-benar religius seharusnya tidak hanya taat dalam ibadah, tetapi juga jujur, adil, dan bebas dari korupsi.

Baca Juga :  Jimly Asshiddiqie: Jika Sampai 27 Agustus Tidak Ada PKPU Baru, Kaesang Sah Ikut Pilkada

Ditulis kembali oleh: Om Anwar
Dipublikasikan melalui: KalimantanSmart.INFO

Avatar photo

Redaksi

Related posts

Newsletter

Subscribe untuk mendapatkan pemberitahuan informasi berita terbaru kami.

Loading

banner kalimantansmartinfo
Iklan Berita (1)
banner kalimantansmart

Recent News