Next Post

Cerita Perlawanan Robert Hendra Sulu, S.H. – Part 5: “Jangan Takut Dibilang Salah Bila Ingin Berbuat Benar”

Robert Hendra Sulu bersandar di dinding anyaman bambu di rumah kayunya di Mentaos, Banjarbaru.

BANJARBARU, KALSMART.info
“Halo.”
“Oh iya, selamat pagi.”
“Ya, pagi, Bang. Pagi-pagi.”

“Apa yang membuat Abang begitu semangat membela hak Ical sampai berani melawan YLBHI yang waktu itu dipimpin Munir?”
“Ini pertanyaan wartawan yang betul-betul terukur. Memancing saya untuk bercerita.”
“Oke, Bang, silakan.”

Dengan ketenangan khasnya, Robert Hendra Sulu mulai membuka kisah panjangnya. Momen itu seperti membuka kembali pintu sejarah yang hampir tiga dekade tertutup oleh waktu dan diam. Pada Rabu, 18 Juni 2025, dari kediamannya di Banjarbaru, ia melanjutkan ceritanya.

“Pertanyaan itu baik sekali, sebetulnya,” katanya mengawali, “padahal kalau dihitung dari KTA—Kartu Tanda Anggota—saya itu masih pengacara junior.” Ia menjelaskan, “KTA saya itu tahun 1993, sedangkan peristiwa itu terjadi tahun 1997.”

Robert mengakui, dirinya tidak melalui jalur formal seperti pengacara lainnya. “Perlu dikatakan, maaf—bukan sekadar diingat, tapi dikatakan—bahwa Robert yang dahulu itu tidak pernah magang.” Ia menegaskan, “Tidak pernah magang.”
“Jadi, dari rumah kita, di kolam ikan itu, dari situ saya belajar secara otomatis.”

Di hadapan kasus besar yang melibatkan Lembaga Bantuan Hukum ternama, Robert berdiri sendiri.

“Dapat dibayangkan,” ucapnya tegas, “seorang diri melakukan perlawanan terhadap sebuah ‘lokomotif’ yang disebut sebagai lembaga bantuan hukum.”
“Itu yang menjadi pertanyaan banyak pengacara senior,” lanjutnya. “Dari Ikadin… Ikatan Advokat Indonesia.”

Ia melanjutkan dengan kisah yang sarat tekanan. “Saya tidak berani menyebutkan siapa orangnya, tetapi dia menyatakan, ‘Sudah siapkah itu berhadapan dengan YLBHI?’”
“Saya sederhana sekali menjawab persoalan itu: bukan soal siap atau tidak. Tapi ini soal keyakinan.”

Dalam literatur hukum, keyakinan profesional ini sering kali disebut sebagai “moral imperative”, yaitu dorongan etis yang timbul bukan karena norma formal, melainkan karena kesaksian nurani individu terhadap kebenaran (lihat: Lon L. Fuller, The Morality of Law, 1969).

Keyakinan itu berakar pada nurani dan pengalaman langsungnya. “Saya melihat sendiri, saya menyaksikan sendiri.”
“Peristiwa itu memberkas dalam pikiran saya,” katanya lirih namun mantap.
“Dan jangan takut dibilang salah bila ingin berbuat baik dan benar. Itu yang hingga sekarang saya pegang.”

Baca Juga :  Ketua BK DPRD Tanah Bumbu Abdul Rahim Dorong Sekolah Tanamkan Nilai Moral Sejak Dini

Robert menyebut peristiwa 23 Mei 1997 sebagai titik balik. “Saya suka akan tantangan,” ujarnya.
“Meskipun banyak yang meragukan terhadap kehadiran saya.”
“Nama Robert Hendra Sulu itu tidak dikenal.”
“Tapi semua itu saya abaikan.”

Baginya, rasa takut adalah lawan terbesar. “Saya pernah menyampaikan bahwa rasa takut itu, sebetulnya itu yang membuat kita jadi susah.”
“Saya tidak pernah punya rasa takut sejak dulu.”

Psikologi forensik mencatat bahwa keberanian seperti ini—menghadapi institusi besar dalam posisi lemah—adalah bentuk moral courage, yaitu keberanian bertindak berdasarkan prinsip meski menghadapi risiko sosial, profesional, atau hukum yang nyata (Kidder, Moral Courage, 2005).

Motivasi personal pun memperkuat langkahnya. Ia bercerita, “Ekspresi pada saat itu, oleh Ical dan satu temannya, itu sebetulnya memotivasi saya.”
“Dia tunjukkan foto pada saat itu.”
“Dan saya, pada saat itu, nurani saya berkata: ‘Apa dengan fotonya itu cukup?’”

Ia menjelaskan bagaimana ia menemukan klise foto, rol film yang dibuktikan sah di pengadilan.
“Saya lupa nama orangnya, tapi klise itu saya dapat bersama seseorang di sebuah toko.”
“Saya lihat dengan mata telanjang. Klise itu cocok dengan foto dalam buku Amuk Banjarmasin.”

“Foto itu dimuat, disertai keterangan dari saksi nyata.”
“Saksi yang membawa klise-nya itu yang saya hadirkan dalam persidangan.”

Baginya, ini bukan sekadar gugatan. “28 tahun bukan waktu yang singkat untuk sebuah persoalan.”
“Dan pencariannya itu, meskipun mengandung risiko tinggi, saya tidak pernah berpikir tentang itu.”

Ia melanjutkan, “Yang saya lawan adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.”
“Tetapi lokomotif ini harus patuh terhadap hukum.”
“Hukum itu harus ada akar kepatuhannya.”

Ia menunjukkan sikap adil. “Saya sangat menghargai mereka yang datang saat itu untuk melakukan investigasi.”
“Saya dukung. Seratus persen saya dukung investigasi itu.”
“Tapi yang menjadi persoalan saya adalah masalah etika, dan persoalan penegakan hukum.”

Baca Juga :  Cerita Perlawanan Robert Hendra Sulu, S.H.: Jumat Kelabu 1997 (Part 1)

Dalam konteks ini, Robert menyinggung prinsip “rule of law,” bahwa tidak ada entitas—sekecil individu atau sebesar lembaga bantuan hukum—yang berada di atas hukum (Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, 1885).

Dalam tinjauan hukum, ia menegaskan bahwa pelanggaran hak cipta kala itu tidak hanya bersifat perdata.
“Undang-undang hak cipta yang lama bukan hanya perdata, tapi juga ada pidananya.”
“Itu yang harus dimintakan pertanggungjawaban.”

Robert mengibaratkan perjuangannya sebagai perjalanan spiritual. “Saya bisa menyebutkan bahwa inilah perjalanan spiritual dalam makna Rasulullah.”

Tantangan pun tidak sedikit.
“Waktu itu saya tidak bernaung di organisasi advokat manapun,” katanya.
“Yang ada hanya IKADIN, dengan nama-nama besar seperti Yusuf Pani, Fauzan Ramon, Marudut Tampubolon, Bung Yani dan lain-lain.”

Ia menambahkan, “Waktu itu sempat beredar informasi bahwa ada puluhan pengacara akan turun membela YLBHI terhadap gugatan saya.”
“Tapi saya tidak mau pusing dengan hal-hal seperti itu.”

Pada akhirnya, menurutnya, “Dalam persidangan itu, kalau tidak salah, ada enam belas pengacara.”
“Karena ada Perdata I dan II.”

Ia mengenang kembali salah satu tokoh yang membangkitkan semangatnya.
“Sosok Munir.”
“Munir ini sangat memberikan motivasi kepada saya pribadi untuk bergerak, maju ke depan.”
“Tidak pernah melihat ke kiri dan ke kanan.”

Meskipun secara posisi mereka berseberangan, Robert menyatakan, “Munir, Dadang, Bambang Widjojanto, bahkan Pak Buyung, berada di pihak yang berbeda.”
“Tapi saya bangga.”
“Satu pengacara yang saya banggakan adalah sahabat saya: Munir.”
“Karena keteguhan hatinya itu.”
“Seperti batu karang yang teguh, tetapi juga tulus seperti burung merpati.”

Ia mengakhiri dengan satu kalimat yang mencerminkan seluruh perjuangannya:

“Fiat justitia ruat caelum.”
“Sekalipun langit runtuh, hukum harus ditegakkan.”

Lalu ia menutup percakapan pagi ini dengan tenang, “Saya sedang mencari kembali ketikan mesin tik, tas, dan alat rekaman kecil yang saya bawa waktu sidang.”

Bersambung ke Part 6…

Avatar photo

Redaksi

Related posts

Newsletter

Subscribe untuk mendapatkan pemberitahuan informasi berita terbaru kami.

Loading

banner kalimantansmartinfo
Iklan Berita (1)
banner kalimantansmart

Recent News