
Desa Api-Api, Tanah Bumbu — Saat dijumpai pada Kamis siang, 22 Mei 2025, matahari bersinar terik di langit Desa Api-Api, Kecamatan Kusan Hilir. Di tengah bentangan tambak yang luas dan tenang, Zidan, bocah berusia empat setengah tahun, tampak berlarian di pematang tambak, kakinya yang mungil menyusuri tepian empang yang membentang di belakang rumahnya.
“Setiap pagi Zidan pasti main ke pematang,” kata Nia, ibunya, sambil menunjuk ke arah tambak yang mengelilingi rumah mereka. “Kadang kami khawatir juga, tapi dia sudah biasa. Dia tahu batasnya.”
Zidan adalah anak bungsu dari pasangan Ramli dan Nia, keluarga suku Dayak dan Bugis yang tinggal di RT 04, Desa Api-Api. Mereka menetap di desa ini sejak 2001, setelah pindah dari Bukit Naga, Sampit, pascakonflik sosial yang melanda wilayah tersebut.

Desa Api-Api dikenal sebagai kampung perikanan budidaya. Mayoritas warganya menggantungkan hidup dari hasil tambak, yang dulu diisi dengan komoditas bandeng dan udang. Dalam dua tahun terakhir, banyak yang beralih membudidayakan ikan air tawar karena lebih tahan terhadap fluktuasi air dan hasilnya lebih stabil.
“Panen biasanya tiga sampai empat bulan sekali,” ujar Ramli. “Asal airnya bagus, ikannya tumbuh cepat. Tapi kalau air pasang besar, bisa habis semua. Rumah kami ini pernah juga kemasukan air sampai lantai.”
Di belakang rumah mereka mengalir anak Sungai Kusan. Anak sungai utama di wilayah ini lebarnya sekitar 20 meter, sementara yang mengalir tepat di belakang rumah Zidan hanya sekitar 7 meter. Alirannya tampak tenang, membelah rimbunnya nipah dan tumbuhan rawa, namun menyimpan potensi bahaya tersembunyi.

“Kalau di belakang sana, di ujung sungai itu, orang bilang kadang ada buaya,” kata Pak RT, H. Rani. “Tapi di sini, di sekitar rumah ini, alhamdulillah aman.”
Sebagian besar warga RT 04 adalah keturunan Makassar yang mengelola tambak sendiri. Sementara warga Bugis seperti Nia, umumnya juga bertani di sawah. Kehidupan mereka sehari-hari tak lepas dari empang, air, dan ketekunan.
“Di sini ada empat RT,” jelas Nia. “Kalau di RT 04 ini, ya rata-rata petambak. Saya sendiri bantu suami, kadang ikut bersihkan empang.”

Meski hidup mereka sederhana dan penuh tantangan, keluarga Ramli tetap memelihara harapan. Bagi mereka, tambak bukan hanya sumber penghidupan, tapi juga ruang bermain dan tempat belajar bagi anak-anak.
“Dia suka ikut lihat waktu panen,” ujar Ramli sambil tersenyum. “Kadang bawa ember kecil, pura-pura bantu angkut ikan.”
Langkah kecil Zidan di pematang tambak bukan sekadar permainan anak. Ia adalah bagian dari denyut hidup kampung perikanan budidaya Desa Api-Api—sebuah kampung kecil yang bertahan di antara air, lumpur, dan tekad orang-orangnya.