
Pagatan, Sabtu Malam – 10 Mei 2025
Malam minggu di Pagatan berubah jadi lautan manusia. Ribuan warga memadati area pantai. Ada yang datang dari Lontar, Tanjung Seloka, Tanjung Lalak, Kotabaru, Serongga, Tanjung Samalantakan, dan Pelaihari. Bahkan ada yang mengaku datang jauh-jauh dari Kapuas dan Amuntai. Mereka rela berjalan kaki hingga satu jam dari lapangan utama demi satu hal: merasakan lagi hangatnya pesta rakyat yang sesungguhnya. Tak ada artis ibu kota, tak ada nama besar yang tampil di panggung—namun suasana justru lebih meriah dari sebelumnya.
Seorang anak di atas bahu ayahnya, menatap panggung di tengah kerumunan padat, menggambarkan semangat malam itu. Wajah-wajah penuh harapan, lampu-lampu hias, dan musik dari band lokal menjadikan malam terasa hidup.

Tarian-tarian daerah dari berbagai etnis yang mendiami Tanah Bumbu pun tampil memukau. Dari gerak gemulai tari Dayak, semangat enerjik tari Banjar, hingga suguhan budaya Bugis, Jawa, Bali, dan Batak—semuanya bersatu dalam satu panggung keberagaman. Tarian Batak dengan gerakan tegas dan irama gondang yang khas menyatu apik dengan tarian dari etnis lain, menciptakan harmoni yang jarang terlihat. Tak ada yang merasa tamu, semua merasa bagian. Momen itu memberi kesan mendalam bahwa pesta rakyat ini adalah panggung ekspresi budaya yang hidup dan mengakar.
Di atas panggung, band lokal tampil penuh percaya diri. Mereka bawakan lagu “Ayo, Keluar!” dengan semangat yang bikin merinding. Di layar LED, lirik lagu terpampang besar: ajakan untuk bangkit, menari, dan bersuka cita meski dunia tak selalu ramah. Nggak perlu gimmick, nggak perlu selebritas. Cukup semangat yang nyata dan musik yang jujur.

Keramaian malam ini membantah anggapan lama: bahwa pesta pantai cuma akan ramai kalau ada artis terkenal. Pagatan justru membuktikan, kekuatan utama pesta rakyat itu ada pada rakyatnya sendiri—yang datang, menyatu, dan merayakan sepenuh hati.
Menurut pantauan di lapangan, ada lebih dari 50 titik parkir yang dikelola oleh kelompok warga. Rata-rata tiap lokasi menampung 300 sampai 500 motor. Itu baru motor—belum termasuk mobil-mobil yang datang dari luar kota. Pesta ini benar-benar masif.

Bahkan saking padatnya, seorang teman yang datang bersama istrinya sempat menyerah. “Saya sampai rumah di Simpang. Sudah tadi dicoba masuk ke dalam area pesta pantai, tapi tidak bisa tembus masuk,” katanya. Kepadatan manusia benar-benar luar biasa malam itu.
Namun, ada satu catatan penting yang patut jadi perhatian untuk tahun-tahun berikutnya: akses masuk dan keluar ke area pantai hanya lewat satu pintu gerbang utama. Di sinilah terjadi penumpukan besar ribuan orang, dan kondisinya cukup rawan. Bayangkan jika terjadi kepanikan—dorong-dorongan, saling desak, bahkan potensi terinjak… hal-hal seperti ini bisa berubah jadi bencana.

Pesta Pantai Pagatan malam ini akan terus dikenang. Bukan karena siapa yang tampil di atas panggung, tapi karena siapa yang hadir dan menghidupkan suasana: rakyat pesisir Kalimantan Selatan—yang membawa harapan, rindu, dan kebanggaan akan identitas mereka sendiri. Mereka berduyun-duyun datang dari seluruh pelosok desa, tumpah ruah memenuhi Pagatan seolah menjawab panggilan alam, panggilan adat, bahkan panggilan roh laut—warisan leluhur para nelayan yang mereka hormati.
KalimantanSmart.INFO – Om Anwar